
What kind of legacy does Joko Widodo leave after a decade in power, and how will it shape Indonesia’s future? In this conversation, cultural critic and long-time observer Jean Couteau unpacks Jokowi’s ambitious drive for industrialisation, infrastructure, and digital growth, while showing how his leadership is deeply rooted in Javanese values of co-operation and balance. Looking ahead to the Prabowo–Gibran era, Couteau invites us to reflect on power, culture, and the shifting story of Indonesian democracy.
Warisan apa yang ditinggalkan Joko Widodo setelah satu dekade berkuasa, dan bagaimana hal itu akan membentuk masa depan Indonesia? Dalam percakapan ini, kritikus budaya dan pengamat lama Jean Couteau mengulas dorongan ambisius Jokowi untuk industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan pertumbuhan digital, sekaligus menunjukkan bagaimana kepemimpinannya sangat berakar pada nilai-nilai Jawa tentang kerja sama dan keseimbangan. Menyongsong era Prabowo–Gibran, Couteau mengajak kita merenungkan kekuasaan, budaya, dan perubahan narasi demokrasi Indonesia.
Featuring
Benito Lopulalan
Jean Couteau

Jean Couteau is one of Indonesia’s most respected observers of politics and culture. A long-time columnist and essayist, he has published extensively on Indonesian art, cultural identity, Balinese culture and socio-political change, with works appearing in leading journals such as Archipel, Kompas, Tempo and Now Bali. Known for his sharp yet culturally grounded analyses, he is neither tied to the academic Indonesianist establishment nor trapped in Western frameworks. His writing blends deep historical knowledge with a narrative style that appeals to both general readers and specialists.
Jean Couteau adalah salah satu pengamat politik dan budaya terkemuka di Indonesia. Sebagai kolumnis dan esais berpengalaman, ia telah banyak menulis tentang seni Indonesia, identitas budaya, budaya Bali, serta perubahan sosial-politik, dengan karya-karyanya dimuat di jurnal-jurnal terkemuka seperti Archipel, Kompas, Tempo, dan Now Bali. Dikenal karena analisisnya yang tajam namun tetap berakar pada konteks budaya, ia tidak terikat pada lembaga akademik Indonesianis maupun terjebak dalam kerangka berpikir Barat. Gaya tulisannya memadukan wawasan sejarah yang luas dengan narasi yang menarik bagi pembaca umum maupun para ahli.
RELEVANT program



















