SUPPORT NOW
Facebook Twitter Instagram Flickr LinkedIn

Menjadi Wadah Berbagi Gagasan dan Muara Inspirasi bagi Suara-Suara Berani, Ubud Writers & Readers Festival Digelar Kembali Tahun Depan

Posted: 20 November 2019

Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2019 telah sukses diselenggarakan pada tanggal 23-27 Oktober lalu. Penyelenggaraan UWRF ke-16, yang disebut sebagai satu dari lima festival sastra terbaik dunia untuk tahun 2019 versi The Telegraph UK, mempersembahkan lebih dari 180 pembicara dari 30 negara yang mengisi lebih dari 170 program.

Dalam UWRF19, nama-nama besar dunia sastra nasional maupun internasional seperti Seno Gumira Ajidarma, Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, Nirwan Dewanto, Iksaka Banu, Azhari Aiyub, Tara June Winch, Novuyo Rosa Tshuma tampil berdampingan bersama para sutradara, penulis naskah, penulis buku makanan, seniman, desainer, penyiar, penasehat global strategis, pegiat seperti Garin Nugroho, Rayya Makarim, Didiet Maulana, Butet Manurung, Lala Bohang, Resa Boenard, Richard Fidler, Parag Khanna, Yotam Ottolenghi, dan masih banyak lagi. Sosok-sosok inspiratif yang telah lama berkecimpung di dunia jurnalisme seperti Andreas Harsono, Janet Steele, hingga Frank Palmos pun ikut berbagi wawasannya selama Festival. Tidak terlewat, UWRF juga turut memperkenalkan lima penulis emerging yang karya-karyanya lolos kurasi Seleksi Penulis Emerging Indonesia 2019. Kelimanya diberi ruang untuk tampil dan berkolaborasi dengan para pembicara nasional dan internasional dalam berbagai program.

UWRF mengemas 70 Main Program berupa panel diskusi yang digelar di tiga venue utama yaitu Indus Restaurant, Taman Baca, dan NEKA Museum. Festival Hub @ Taman Baca juga menjadi rumah bagi beberapa program lainnya dari peluncuran buku, pemutaran film, pameran seni, pertunjukan musik, lokakarya, maupun Children & Youth Program. Meski demikian, Festival juga tetap bekerja sama dengan puluhan lokasi seperti restoran, kafe, hotel, sekolah, dan museum di Ubud dan sekitarnya untuk penyelengaraan program-program tersebut, begitu pula untuk Special Events, Fringe Events, In-school Program, lokakarya budaya, dan lain-lain.

Tahun ini, Festival berhasil mendatangkan sekitar 25.000 pengunjung dari dalam dan luar negeri. Menurut data yang dihimpun oleh tim UWRF, Festival telah ikut berkontribusi ke komunitas lokal senilai lebih dari Rp 4 miliar, yang dikeluarkan oleh para pengunjung festival selama enam hari untuk biaya akomodasi di berbagai penginapan, transportasi, restoran, spa, souvenir, museum, galeri, dan acara budaya di Ubud dan sekitarnya. Dari data tersebut, tercatat 85% pengunjung yang hadir dalam UWRF19 menyampaikan bahwa mereka secara khusus datang ke Ubud untuk UWRF19, dan 40% pengunjung merupakan pengunjung yang baru pertama kali ke Festival.

Semaraknya penyelengaraan Festival menampilkan beberapa agenda yang menjadi highlight UWRF19 seperti penyerahan Lifetime Achievement Award UWRF19 kepada pendongeng legendaris asal Bali Made Taro dan pementasan tari Japatwan karya koreografer Ida Ayu Arya Satyani atau Dayu Ani pada Gala Opening UWRF19, Rabu (23/10/2019) di Puri Ubud. Tari Japatwan yang dibawakan oleh empat penari pria dari Kelompok Tari Bumi Bajra ini terinspirasi dari puisi tradisional geguritan Bali Japatwan yang mengisahkan Japatwan dan kakak lelakinya Gagakturas. Mereka mempelajari ilmu esoterik aksara suci untuk melakukan perjalanan ke surga guna mencari jiwa istri dari Japatwan, Ratnaningrat. Para penari mengilhami berbagai peran selama pertunjukan, dari tokoh protagonis hingga berbagai hewan dalam kisah tersebut. Iringan musik utamanya terdengar sangat indah, dihadirkan oleh penyanyi wanita yang membacakan bagian-bagain geguritan yang dipilih.

Mengusung tema Karma, UWRF19 memberikan ruang bagi para pencinta sastra, penggemar seni, pemerhati budaya, hingga mereka yang peduli dengan isu-isu global untuk menggali ide dan gagasan yang luar biasa dari para pembicara Festival. Dihadirkan dalam Main Program berupa panel diskusi, UWRF menyajikan diskusi mendalam seputar sastra, seni, jurnalisme, feminisme, keberagaman, pelestarian adat dan budaya, masalah lingkungan hidup, kebebasan beragama, politik, kesehatan mental, migrasi, media sosial, berita palsu, hingga hak asasi manusia, yang tentunya menarik untuk dibahas.

Beberapa Main Program dengan topik yang berkaitan dengan Indonesia mulai dari The Price of Democracy, Rise of the Tiger, hingga Indonesian Cinema as Soft Power dikemas apik. Banyak pengetahuan berharga dibagikan dalam deretan sesi tersebut. “Indonesia sangat kaya akan keberagaman, dan keberagaman inilah yang harus diubah menjadi sesuatu yang memiliki nilai global,” ujar Garin Nugroho dalam Indonesian Cinema as Soft Power.

Sementara itu, dengan adanya krisis lingkungan di Indonesia, panel diskusi Precious Peatlands, yang didukung oleh Pantau Gambut dan WRI Indonesia, mengeksplorasi bagaimana sastra dapat menghubungkan pembaca dengan alam. Penyair, pegiat, dan akademisi asal Bali Saras Dewi mengungkapkan, “Sastra menjadi instrumen yang kuat untuk menghadirkan alam sebagai subyek, bukan hanya sebagai latar belakang.”

Ada pula panel diskusi mendalam yang cukup menyita perhatian pengunjung baik nasional dan internasional seperti sesi Andreas Harsono: Race, Islam, and Power di NEKA Museum pada Jumat (25/10/2019). Dalam sesi tersebut Andreas Harsono menegaskan bahwa ia ingin meningkatkan kualitas jurnalisme Indonesia karena semakin bagus kualitasnya, semakin bagus informasi yang beredar di masyarakat, dan semakin bagus pula demokrasi. Sementara itu, sesi Behrouz Boochani & Omid Tofighian: No Friend But the Mountains di Taman Baca pada Sabtu (26/10/2019) yang menghadirkan Behrouz Boochani melalui siaran langsung menggunakan Zoom dari Port Moresby, Papua Nugini, menuai simpati mendalam dan tepuk tangan meriah dari para pengunjung Festival. “Semua pekerjaan saya adalah bentuk dari tindakan perlawanan. [Saya menulis] untuk menjaga martabat saya sebagai manusia,” ujar Behrouz Boochani.

Pada hari yang sama, pengunjung Festival juga memenuhi Indus Restaurant untuk menyaksikan penuturan dan pembahasan menarik seputar agama dan sejarah manusia dalam sesi Reza Aslan: God: A Human History. “Apa yang tidak dipertanyakan, tanpa keraguan, adalah bahwa kepercayaan agama merupakan sebuah dorongan universal, yang ada dalam diri semua orang, di semua budaya, di setiap sudut di dunia – dan itulah yang mendahului kita [sebagai makhluk hidup],” ujar Reza Aslan.

UWRF19 juga menyajikan pemutaran film yang spesial. Pemutaran film Kucumbu Tubuh Indahku (2018) ditutup dengan sesi tanya-jawab yang sangat menarik antara Garin Nugroho dan penonton film. Ada pula pemutaran film 27 Steps of May (2018) yang dihadiri langsung oleh Rayya Makarim selaku penulis skenario dan produser film tersebut, serta pemutaran film Aruna dan Lidahnya (2018) yang dibuka dengan diskusi kasual bersama penulis buku Aruna dan Lidahnya Laksmi Pamuntjak dan Chef Bara Pattiradjawane. Pemutaran film ini diramaikan dengan masakan kreasi Chef Bara yang terisipirasi dari film Aruna dan Lidahnya (2018), yaitu nasi goreng kuning dan ayam tangkap Aceh.

Peluncuran buku di UWRF19 juga tidak kalah menarik. Penggemar karya Seno Gumira Ajidarma berbondong-bondong menghadiri sesi peluncuran buku Nagabumi III: Hidup dan Mati di Chang’an. Tak hanya itu, pencinta sastra juga diperkenalkan dengan karya-karya penulis emerging lewat peluncuran buku UWRF19 Bilingual Anthology. Dari deretan pertunjukan musik dan seni, UWRF19 menandai meriahnya sesi Moving Poetry pada Kamis, (24/10/2019) di Taman Baca. Pembacaan puisi dalam sesi tersebut diisi oleh penyair internasional Krissy Kneen dan sederet penyair muda Indonesia seperti Theoresia Rumthe, Setyawan Samad, Helena Natasha, dan Ilhamdi Putra.

UWRF tidak hanya fokus dalam pelaksanaan deretan program menariknya yang diselenggarakan di Ubud dan sekitarnya. Festival yang diprakarsai oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati ini juga selalu berusaha merangkul komunitas-komunitas sastra dan penggerak pendidikan di seluruh penjuru negeri. Tahun ini, Satellite Events UWRF didukung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan Pemerintah Kota Semarang, serta bekerja sama dengan UIN Syarif Hidayatullah, Universitas Lambung Mangkurat, STIE Muhammadiyah Tanjung Redeb, dan Pemerintah Kota Berau. Festival pun turut melibatkan komunitas-komunitas lokal seperti BACA.RASA.DENGAR hingga Yakobi Bacarita dalam menyelenggarakan 13 Satellite Events di Banten, Jakarta, Semarang, Banjarmasin, dan Berau, yang dihadiri oleh 1.033 peserta.

Perhelatan internasional yang hadir sebagai wadah kebebasan berekspresi, berbagi gagasan, dan muara inspirasi bagi suara-suara berani dan para pencinta sastra, seni, dan budaya ini dipastikan akan kembali pada tahun depan.

“Pada bulan Januari tahun ini, UWRF dinobatkan sebagai salah satu dari lima festival sastra terbaik dunia untuk 2019 oleh The Telegraph,” ujar Pendiri & Direktur UWRF Janet DeNeefe. “Setelah percakapan mendalam yang tak terhitung jumlahnya selama Festival, dan setelah membaca ratusan saran dari pembicara dan pegunjung Festival, saya sangat merasakan bahwa apa yang kami hadirkan di tahun ke-16 ini tidak seperti acara sastra lainnya di dunia.”

“UWRF unik dalam banyak hal, tetapi barangkali aspek yang paling menonjol dari keunikan kami adalah kemurahan hati yang kami terima dari begitu banyak individu, bisnis, dan organisasi yang berbeda. Sebanyak 180 partners telah membantu kami mewujudkan UWRF19. Mewakili tim Festival, saya mengucapkan terima kasih kepada masing-masing dari mereka, begitu pula kepada semua pembicara, relawan, dan pengunjung Festival yang membantu menghadirkan UWRF tahun ke-16 ini. Sampai jumpa kembali dalam festival tahun ke-17 kami pada 28 Oktober hingga 1 November 2020!”