Yayasan Mudra Swari Saraswati telah mengumumkan 5 nama pemenang Seleksi Penulis Emerging Indonesia untuk hadir di panggung perhelatan sastra Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober mendatang. Tim kurator Seleksi Penulis Emerging Indonesia tahun ini terdiri dari Leila S. Chudori, Warih Wisatsana, dan Putu Fajar Arcana. Ke-5 penulis emerging ini akan bergabung bersama para penulis, pegiat, dan kreator seni dari seluruh dunia. Karya-karyanya yang terpilih akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibukukan dalam Antologi 2018.
UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2018. Kami telah melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging untuk mengenali diri dan karya mereka lebih jauh. Minggu ini, kami mengajak Anda untuk mengenal Rosyid H. Dimas dari Yogyakarta.
Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Rosyid H. Dimas bukanlah nama asli saya, melainkan hanya nama pena. Nama itu saya bentuk dengan menggabungkan nama saya sendiri dengan nama almarhum ayah saya. Saya ingin mengabadikan ayah saya melalui nama pena tersebut. Saya seorang penikmat kopi meski memiliki masalah lambung. Oleh karena itu saya hanya meminum kopi arabika. Hobi saya membaca, menulis, dan bermain sepak bola atau futsal. Saya senang menulis cerita pendek dan puisi, tapi serius di cerita pendek. Sekarang tinggal di Yogyakarta, menempuh studi di UIN Sunan Kalijaga jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Meski demikian, saya akan berpikir lima kali kalau diminta berbicara dengan bahasa Arab. Kecerdasan linguistik saya tidak begitu baik. Saya tergabung di sebuah komunitas pecinta buku bernama Klub Buku Yogyakarta (KBY) dan komunitas menulis sastra Rumpun Nektar.
Ceritakan momen saat Anda menerima kabar bahwa Anda merupakan salah satu penulis emerging terpilih UWRF18.
Saat itu pagi yang hangat di hari Jumat tanggal 22 Juni. Saya tengah membaca The Castle in the Pyrenees karya Jostein Gaarder. Tiba-tiba smartphone saya berdering. Tanpa meletakkan buku, saya melihat nomor yang tertera di layar. Sebuah nomor baru. Saya mengangkatnya dan suara seorang perempuan segera merambat ke telinga saya. Selamat pagi. Apa benar ini Rosyid H. Dimas? Kurang lebih seperti itu suara yang keluar pertama kali. Saya menjawab, Ya. Kemudian ia memperkenalkan diri dan mengabarkan bahwa saya terpilih sebagai salah satu penulis Emerging dan akan diundang pada perhelatan Ubud Writers and Readers Festival 24-28 Oktober mendatang. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain kata syukur dan kata “ya, ya, ya, dan ya”. Seakan-akan kata-kata lain telah lenyap dari ingatan saya. Saat telepon ditutup, perasaan bahagia dan bingung masih berkecamuk di dada saya. Apakah saya benar-benar lolos? Barulah saat pengumuman seleksi terbit di situs resmi UWRF, saya bisa berbahagia dengan lepas. Dan saya berkali-kali berucap syukur.
Apakah judul karya terpilih Anda dalam seleksi ini? Ceritakan kisah di balik proses penulisannya.
Ote Naus. Itu adalah judul cerita pendek saya yang terpilih dalam seleksi ini. Ide penulisan cerpen tersebut lahir saat saya sedang menonton acara telivisi yang menayangkan berita tentang Benteng None, sebuah situs sejarah di NTT. Saat itu saya sedang di rumah, di Rembang. Tayangan tersebut mengabarkan bahwa suku pendiam Benteng None memiliki upaca Ote Naus yang menarik, yaitu sebuah upacara yang dilakukan sebelum berperang. Dengan upaca tersebut, kemenangan atau kekalahan peperangan bisa diketahui sebelum petempuran dimulai. Kemudian saya tertarik untuk menulisnya. Sebelum menulis, saya melakukan penelitian kecil dengan mencari referensi mengenai Benteng None dan Ote Naus di internet. Setelah data siap, saya tidak langsung menulisnya, melainkan melakukan perenungan selama hampir seminggu untuk membuat konsep dan alur cerita. Saya lupa kapan tepatnya cerpen tersebut selesai. Yang jelas, cerita tersebut rampung saat saya sudah berada di Yogyakarta.
Setelah menjadi salah satu penulis emerging terpilih UWRF18, apakah minat Anda untuk menekuni dunia kepenulisan semakin besar?
Tentu. Menjadi penulis adalah cita-cita saya. Dengan terpilih sebagai penulis emerging UWRF18 ini, setidaknya bisa menjadi cambuk bagi diri saya sendiri. Dan cambuk itu seperti berkata, “kamu bisa menjadi penulis”. Saya akan berusaha mengejar cita-cita tersebut. Dan seandainya tidak mejadi penulis besar, saya akan tetap menulis. Karena menulis membuat saya bahagia. Dan , lagi pula ibu saya merestui saya menulis.
Siapa saja tokoh sastra atau orang yang menginspirasi dan memengaruhi gaya menulis Anda?
Banyak, tentunya. Semua penulis cerpen Kompas dan penulis sastra Indonesia adalah inspirasi saya. Untuk gaya menulis, saya dipengaruhi oleh Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Agus Noor, Faisal Oddang, Guntur Alam, dan Mashdar Zainal. Untuk penulis luar, barangkali Abert Camus dan Anton Chekhov.
Apa yang biasa Anda lakukan saat mengalami ‘writer’s block’ atau kebuntuan dalam menulis?
Berhenti dan tinggalkan. ‘Writer’s block’ bagi saya adalah keniscayaan bagi semua penulis. Saya percaya tidak seorang pun penulis yang terhindar dari momen ini. Saat mengalami ‘writer’s block’ saya memilih untuk membuka dan mengerjakan file lain. Jika benar-benar ‘block’ , saya akan menutup semua file dan mematikan laptop kemudian membaca buku atau berselancar di dunia maya atau bersenda-gurau dengan teman di kamar sebelah. Intinya, saya butuh kegiatan lain untuk merefresh isi kepala.
Berkaitan dengan tema UWRF18 yaitu ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’, bagaimana Anda memaknai hal tersebut?
“Dunia yang kita ciptakan”. Saya tiba-tiba ingat ceramah saat ngaji filsafat, “dunia adalah apa yang kita persepsi”. Saya pikir kedua perkataan tersebut memilki benang merah yang sama. Bahwa dunia yang ada adalah hasil dari persepsi kita terhadap hal-hal yang ada pada realitas. Jika kita ingin memiliki dunia yang baik, maka kita harus memiliki persepsi yang baik pula. Jika kita menginginkan dunia yang baik, berkultur, bahagia, dan sejahtera, maka kita sendirilah yang harus menciptakannya. Dan dengan ‘Jagadhita’ di UWRF18 ini, mari kita bersama-sama menciptakan dunia yang lebih baik.
Buku apa yang selalu ingin Anda baca tetapi hingga saat ini belum juga Anda baca?
Banyak, sebenarnya. Tapi yang muncul di pikiran saya saat membaca pertanyaan ini adalah buku “The Critique of Pure Reason” (Kritik atas Akal Budi Murni) karya Immanuel Kant.