Yayasan Mudra Swari Saraswati telah mengumumkan 5 nama pemenang Seleksi Penulis Emerging Indonesia untuk hadir di panggung perhelatan sastra Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober mendatang. Tim kurator Seleksi Penulis Emerging Indonesia tahun ini terdiri dari Leila S. Chudori, Warih Wisatsana, dan Putu Fajar Arcana. Ke-5 penulis emerging ini akan bergabung bersama para penulis, pegiat, dan kreator seni dari seluruh dunia. Karya-karyanya yang terpilih akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibukukan dalam Antologi 2018.
UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2018. Kami telah melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging untuk mengenali diri dan karya mereka lebih jauh. Untuk menutup seri blog ini, kami mengajak Anda untuk mengenal Andre Septiawan dari Pariaman, Sumatera Barat.
Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Nama saya Andre Septiawan, lahir dua puluh tiga tahun silam di pesisiran kota Pariaman. Kota kecil di sebelah utara ibukota provinsi Sumatera Barat, Padang, yang menjadi pusat gempa Sumbar 2009 yang lalu. Ayah saya seorang penjaja ikan keliling, sedangkan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Saya memiliki seorang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki. Saya tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Andalas, Padang tahun 2013 dan diwisuda Juni, 2018 ini.
Kapan dan dari mana Anda mendengar tentang Seleksi Penulis Emerging Indonesia? Apa yang membuat Anda memutuskan untuk mengumpulkan karya dalam seleksi ini?
Pertama kali saya membaca pamphlet tentang Seleksi Penulis Emerging Indonesia ini tahun 2015 lalu di perpustakaan kampus saya, tapi saat itu saya belum tau apa-apa tentang acara besar ini. Untuk tahun ini, adik saya yang memberi kabar dan sedikit “memaksa” saya untuk ikut. Saya masih ingat, saya menyerahkan filenya di hari terakhir, tanggal 28 Februari. Itu pun sempat saya urungkan niat, berhubung saya waktu itu juga masih sibuk mengurus skripsi. Bisa dibilang awalnya coba-coba saja.
Ceritakan momen saat Anda menerima kabar bahwa Anda merupakan salah satu penulis emerging terpilih UWRF18.
Saya sudah menunggu pengumuman penulis terpilih sejak akhir Mei. Tapi karna tidak ada email yang masuk, jadi saya berpikiran kalau karya saya tidak lolos. Saya menerima kabar sebagai penulis terpilih itu kalau tidak salah seminggu setelah Idul Fitri. Ceritanya cukup unik. Saya melampirkan nomor handphone teman saya untuk mendaftar, karena saya tidak memiliki nomor tetap. Jadi ketika pihak Ubud mengabari, itu langsung ke nomor teman saya, lalu teman saya ngabarin saya, saya ngabarin balik ke pihak Ubudnya. Jadi ini seperti semacam telpon berantai, hehehe.
Apakah judul karya terpilih Anda dalam seleksi ini? Ceritakan kisah di balik proses penulisannya.
Dua puisi saya yang lolos berjudul : Dalam perjalanan ke Bukittinggi dan Pasar Malam. Tidak ada kisah istimewa di balik penciptaan dua karya ini, selain nostalgia akan ingatan-ingatan masa silam dan mimpi-mimpi tentang masa depan serta kultur budaya Minang saya yang melatarbelakanginya.
Setelah menjadi salah satu penulis emerging terpilih UWRF18, apakah minat Anda untuk menekuni dunia kepenulisan semakin besar?
Ya, tentu saja. Saya berharap, melalui UWRF tahun ini saya dapat diterima dan menjadi bagian dari kesusasteraan Indonesia yang sudah punya sejarah panjang ini, dan kesusastraan Minang.
Siapa saja tokoh sastra atau orang yang menginspirasi dan memengaruhi gaya menulis Anda?
Mungkin sebagian besar orang yang suka puisi setuju kalau penyair pertama yang mereka kenal adalah Chairil Anwar dengan puisi “Aku” nya yang mendarah daging itu. Saya pun demikian. Kemudian datanglah masa-masa peralihan gaya tulis saya yang dipengaruhi penyair-penyair kenamaan seperti Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, Gunawan Muhammad, dan M. Aan Mansyur. Di fase ini, saya menulis puisi yang sangat terpengaruh mereka banget, bisa dibilang. Lalu bertemulah saya dengan puisi-puisi penyair muda Minangkabau yang menurut saya pribadi tengah membangkitkan kembali geliat kesusastraan para penulis Minang. Mereka ini adalah Heru Joni Putra, lalu Esha Tegar Putra dan Deddy Arsya. Nama terakhirlah yang mempengaruhi gaya tulisan saya belakangan ini. Beliau juga pernah jadi penulis emerging terpilih beberapa tahun lalu.
Apakah Anda juga memiliki minat di bidang lain selain kepenulisan? Apakah itu?
Hmmm… apa ya. Saya suka seni, sebagai penikmat saja. Kalo ditanya minat, saya suka conlang-ing. Mungkin terdengar asing. Ini semacam hobi atau kegiatan reka-cipta bahasa yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Mungkin pernah dengar Esperanto? Bahasa Elf di Lord of The Ring? Atau Na’vi dalam Avatar? Ya terkait hal-hal semacam itu. Berhubung saya juga mengambil prodi linguistik di bangku kuliah.
Buku apa yang selalu ingin Anda baca tetapi hingga saat ini belum juga Anda baca?
Kalau dibikin daftarnya, bakalan panjang. Tapi yang berada di urutan pertama adalah kumcernya Eka Kurniawan dan KUKILA karya Aan Mansyur.