Lebih Dekat dengan… Iksaka Banu

Posted: 12 July 2019 Author: sikuska

Tiket Early Bird kami telah tersedia dan nama-nama pembicara tahap awal kami telah diumumkan. Pada seri ini, kami berbincang dengan penulis, seniman, dan pegiat ini untuk mengenal mereka lebih dekat sebelum mereka bergabung dengan kami pada bulan Oktober mendatang. Minggu ini, kami berbincang dengan Iksaka Banu, penulis yang berhasil mengulik masa lalu kolonialisme untuk menenun kisah yang memukau. Pada 2014, kumpulan cerita tentang kolonialismenya Semua untuk Hindia memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa.

Kapan dan apa yang membuat Anda mulai menulis dan menggambar?

Sejak saya kecil, orang-orang sekitar mengatakan saya memiliki bakat menulis dan menggambar. Rupanya bakat menulis lebih dahulu menemukan penyalurannya. Mungkin karena pengaruh lingkungan. Ayah saya adalah seorang penulis buku dan konsultan pendidikan. Cukup lama beliau mengisi rubrik Tanya Jawab dengan Seorang Pendidik di koran Buana Minggu dan Majalah Pertiwi. Sementara paman saya seorang wartawan di harian Merdeka. Bila mereka berdua sedang terkena deadline, rumah kami yang tidak terlalu besar itu akan ramai dengan suara mesin ketik hingga larut malam, membuat saya tergerak ingin menulis sesuatu. Lelucon, atau cerita pendek. Mula-mula hanya untuk konsumsi sendiri. Namun suatu hari, sekitar tahun 1974 (saat saya kelas 4 SD), diam-diam Paman mengirimkan satu tulisan saya ke Rubrik Anak Kompas. Dulu belum ada Kompas Minggu, tapi ada rubrik keluarga  setiap  Sabtu, dan ada jatah tiga kolom kecil untuk umum (anak-anak). Ternyata cerpen berjudul Dikejar Setan itu dimuat, dan memicu saya untuk lebih sering menulis. Beberapa tulisan dimuat di Mingguan Angkatan Bersenjata.  Pernah pula masuk majalah Kawanku. Barangkali saya akan terus menulis seandainya Ayah tidak memberi hadiah satu kotak cat poster pada hari ulang tahun saya ke-12. Waktu itu komik Tintin baru terbit. Juga Album Walt Disney. Dengan cat poster pemberian Ayah, saya meniru gaya gambar dan teknik pewarnaan kedua komik itu. Beberapa gambar saya kirim ke sejumlah majalah. Ibu Titi Sari, redaktur Ananda, sebuah majalah anak yang belum lama terbit, melihat gambar yang saya kirim. Beliau minta saya datang menemuinya, dan memberi saya kesempatan membuat komik berwarna satu halaman, berjudul Samba si Kelinci Perkasa. Tak terkira senangnya. Selama setahun (1978), saya mengisi 12 episode komik di majalah itu. Sejak saat itu saya benar-benar fokus ke dunia gambar. Setelah lulus SMA, saya meneruskan kuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Desain Grafis, lalu bekerja menjadi Pengarah Seni di sejumlah biro iklan di Jakarta. Dunia tulis-menulis seolah terlupakan, sampai suatu hari tahun 2000, ibu saya jatuh sakit (kemudian wafat). Sementara menunggu ibu dirawat, saya mencoba menulis sebuah cerpen. Saya kirim ke majalah Matra, dan dimuat. Maka, saya kembali giat menulis sampai sekarang.

Apa yang biasanya Anda lakukan jika sedang mengalami kebuntuan dalam berkarya?

Biasanya saya punya beberapa pilihan kegiatan saat buntu menulis. Pertama, nonton film. Kedua, membaca buku. Dan ketiga, meningkatkan volume pekerjaan di bidang grafis. Sejak mengundurkan diri dari biro iklan tahun 2008, saya memang membuka studio grafis di rumah, sekaligus menjadi praktisi iklan lepas (freelancer). Sehari-hari saya mengatur jam kerja menjadi dua bagian. Pagi, pukul 08.00 hingga 14.00, saya isi dengan bekerja sebagai perancang grafis. Lewat jam 14.00, saya mulai menulis hingga pukul 22.00. Setelah itu, beristirahat. Tetapi bila sedang mengalami kebuntuan menulis, seringkali satu hari saya habiskan untuk mengurus pekerjaan grafis, membaca, atau menonton.

Apa pencapaian tertinggi yang telah Anda peroleh selama Anda berkarya atau berproses selama ini?

Suatu kemujuran yang harus terus saya syukuri, bahwa baik sebagai praktisi iklan maupun penulis, saya pernah memperoleh prestasi lumayan menyenangkan. Sebagai praktisi iklan, saya pernah meraih medali emas untuk iklan televisi dan iklan cetak dalam Citra Pariwara 1995-1996. Sementara dalam dunia tulis menulis, saya pernah memperoleh penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa terbaik tahun 2014 untuk kumpulan cerpen saya berjudul Semua untuk Hindia.

Adakah pesan yang ingin disampaikan untuk mereka yang berminat menekuni dunia kepenulisan dan pembuatan komik?

Untuk dunia komik, terus terang saya sendiri kini sudah tidak aktif sebagai praktisi. Hanya sebagai penikmat. Jadi, tidak ada pesan yang bisa saya sampaikan. Tetapi sebagai perancang grafis, saya bisa mengatakan bahwa tantangan hari ini semakin keras. Teknologi komputer yang semakin maju, semakin ekonomis, dan semakin akrab, membuat jumlah perancang grafis andal semakin banyak. Yang berminat menekuni bidang ini sebaiknya jangan lelah menambah ilmu dan ketrampilan baru. Termasuk tidak malu belajar kepada yang muda. Untuk dunia kepenulisan, hampir sama. Sebaiknya selalu perbarui diri. Baik dalam hal wawasan, maupun gaya, dan teknis menulis. Saya mengawali dunia tulis-menulis lewat sejumlah cerita pendek beraroma fiksi ilmiah, serta sedikit surealis. Setelah itu, saya mencoba beralih ke cerita dengan latar sejarah kolonial. Mungkin kelak saya akan mencari bentuk lain lagi. Harus terus bergerak. Tidak boleh diam terlalu lama di suatu tempat.

UWRF19 akan merayakan tema Karma. Apa makna Karma bagi Anda?

Saya termasuk orang yang meyakini Karma. Dan karena saya penggemar fiksi ilmiah, Karma versi saya barangkali lebih condong ke arah Karma yang meminjam sudut pandang modern seperti yang disampaikan oleh para fisikawan dan kosmolog semacam Carl Sagan, atau Stephen Hawking, yang mengatakan bahwa sejarah kita, sejarah orang lain, sejarah pendahulu kita, serta sejarah keturunan kita, bahkan keberadaan seluruh jagat raya ini,  saling terhubung, saling memberi pengaruh, bahkan dalam gerak dan perilaku paling kecil pun. Tak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi di depan. Namun dengan senantiasa waspada, cermat mempelajari masa lalu, berupaya tidak mengulangi kesalahan masa lalu, dan giat melakukan hal-hal baik setiap hari, termasuk dalam berkarya, saya percaya semua akan membuahkan hasil baik. Untuk kita, maupun orang lain.

Apa saja isu dan topik yang ingin Anda eksplor selama UWRF19?

Saya rasa masih tentang ‘karma’ atau ‘sebab akibat’. Saat ini saya masih bersemangat, dan belum bosan menulis serta mengamati masa lalu, terutama periode kolonial di Indonesia, dengan segala sebab-akibatnya. Periode ini menarik bagi saya, karena saat ini terlihat ada kecenderungan serius di tengah masyarakat untuk melupakan, atau tidak mengakui periode itu sebagai bagian dari historiografi Indonesia. Ini aneh. Tetapi bisa dipahami. Barangkali karena periode itu, untuk waktu yang sangat lama, banyak diisi oleh kepahitan dan derita nenek moyang kita. Hidup dan mati di bawah kendali para penjajah. Kegetiran itu lantas diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menimbulkan trauma yang sulit disembuhkan. Celakanya, alih-alih mencari terapi penyembuh, banyak dari kita justru lebih suka melompati atau melupakan periode itu. Kalaupun dibahas, pasti akan dihakimi secara hitam-putih. Belanda pasti akan selalu dilihat sebagai pihak yang jahat. Perwujudan iblis angkara murka. Sementara orang Indonesia senantiasa dianggap pihak yang benar. Nyaris putih-suci. Akibatnya trauma itu tidak kunjung hilang hingga hari ini. Bahkan sering kali sengaja dipiuhkan dan dipakai untuk tunggangan politik. Saya ingin mengajak para peserta UWRF19 melihat periode kolonial itu sebagai bagian integral dari sejarah bangsa Indonesia, yang harus dihadapi, dipelajari, dan diakui. Karena keberadaan kita hari ini tentunya merupakan buah dari segala perbuatan yang dilakukan oleh ayah, kakek, dan kakek moyang kita yang kebetulan hidup di zaman sebelum kita, dan berjalan secara simultan. Dengan mempelajari aneka hal buruk yang terjadi di masa lalu, kita bisa berharap menghidari kesalahan yang sama di masa depan. Sebaliknya, dengan menyimak keberhasilan masa lalu, kita bisa berharap menjadikannya panduan untuk mengulanginya di masa depan.

Siapa yang Anda harapkan menjadi peserta panel diskusi Anda di UWRF19?

Siapa saja yang peduli tentang perkembangan dunia seni rupa dan kepenulisan di Indonesia. Orang-orang yang bisa memberi inspirasi atau hal baru kepada saya. Sebab, seperti yang saya katakan tadi, saya juga ingin terus berkembang. Tidak berhenti di satu kecenderungan atau gaya tertentu. Tentu akan banyak yang bisa saya pelajari dari peserta UWRF 19 ini.

Manakah karya Anda yang paling Anda rekomendasikan untuk diketahui oleh mereka yang sebelumnya belum terlalu mengenal karya-karya Anda?

Saya rasa Semua untuk Hindia atau Teh dan Pengkhianat cukup mewakili semangat yang sedang saya tekuni saat ini, yaitu tentang cara baru memandang dunia kolonial. Bahwa sejarah, sama seperti kehidupan itu sendiri, tidak pernah hadir hitam-putih. Selalu penuh warna.

Adakah projek atau karya terbaru yang sedang Anda kerjakan saat ini? Bisakah diceritakan sedikit kepada kami?

Saat ini saya sedang menulis buku tentang Raden Saleh. Disusun dalam dua plot. Yang pertama tentang kisah hidup Raden Saleh, nyaris seperti dramatisasi biografi. Sementara plot kedua tentang sepak terjang dan romantisme para pemuda Indonesia di zaman pergerakan atau kebangkitan nasional. Novel ini cukup tebal. Ditulis tandem bersama sahabat saya, Kurnia Effendi. Pada saat yang sama, saya juga sedang menulis novel tentang perbudakan di Batavia. Kisah Raden Saleh kemungkinan besar akan terbit akhir tahun ini. Sementara kisah tentang perbudakan itu mudah-mudahan bisa terbit tahun depan.

Ingin mendengar lebih banyak dari Iksaka Banu? Dapatkan tiket Early Bird Anda sekarang, hemat 20% dari harga reguler untuk pembelian 4-Day Pass. Jangan lewatkan pengumuman pembicara lengkap kami pada pertengahan Agustus. 

 

 

 

Comments are closed.