Yayasan Mudra Swari Saraswati telah mengumumkan 5 nama pemenang Seleksi Penulis Emerging Indonesia untuk hadir di panggung perhelatan sastra Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober mendatang. Tim kurator Seleksi Penulis Emerging Indonesia tahun ini terdiri dari Leila S. Chudori, Warih Wisatsana, dan Putu Fajar Arcana. Ke-5 penulis emerging ini akan bergabung bersama para penulis, pegiat, dan kreator seni dari seluruh dunia. Karya-karyanya yang terpilih akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibukukan dalam Antologi 2019.
UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2019. Kami telah melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging untuk mengenali diri dan karya mereka lebih jauh. Pada seri blog ini, kami mengajak Anda untuk mengenal Chandra Bientang dari D.K.I Jakarta.
Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Nama saya Chandra Bientang. Saya lahir di Jakarta dan usia saya tahun 2019 ini 30. Pada periode 2007-2013 saya menempuh masa kuliah di program studi Filsafat di Universitas Indonesia. Selama tiga puluh tahun saya telah berpindah-pindah dari Bekasi, Muntilan, Bogor, lalu menetap di Jakarta setelah menikah. Saya pernah beberapa kali bekerja sebagai content writer.
Apakah judul karya terpilih Anda dalam seleksi ini? Ceritakan kisah di balik proses penulisannya.
Kucing, bisa dibilang punya bagian besar dalam hidup saya, bukan hanya di masa kanak-kanak tapi juga saat saya dewasa. Dulu hampir selalu rumah saya dikunjungi kucing dan akhirnya keluarga saya memelihara kucing-kucing itu. Ketika saya mulai hidup sendiri dan menikah, memiliki kucing jadi kurang memungkinkan karena tempat tinggal yang belum stabil. Maka saya anggap setiap kucing yang saya temui di jalan adalah kucing saya. Saya menyapa mereka dan jika mereka mengijinkan, saya belai mereka. Mungkin dari kecintaan saya pada kucing inilah saya menulis Anak Kucing Leti, karya yang saya kirimkan untuk seleksi Penulis Emerging UWRF19. Tidak hanya bercerita tentang anak kucing, tetapi juga kritik terhadap pandangan serta tradisi yang tidak adil dalam masyarakat, terutama yang dilakukan masyarakat pada perempuan. Anak kucing dalam cerita ini menjadi semacam tali penghubung bagi seorang anak bernama Leti dalam upayanya memahami dunianya yang membingungkan.
Setelah menjadi salah satu penulis emerging terpilih UWRF19, apakah minat Anda untuk menekuni dunia kepenulisan semakin besar?
Terpilih menjadi salah satu Penulis Emerging di UWRF19 merupakan prestasi yang luar biasa pengaruhnya buat saya. Saya merasa menemukan ruang dan ini memecut saya untuk terus menulis, terutama meningkatkan kualitas tulisan saya.
Sejak kapan Anda menulis karya sastra?
UWRF19 adalah perhelatan sastra pertama yang saya ikuti, dan Anak Kucing Leti adalah karya sastra pertama saya yang diterima. Sebelumnya saya menulis beberapa cerita pendek dan mengajukannya pada sebuah penerbit, tetapi ditolak. Bersama beberapa teman alumni Filsafat juga saya berencana membuat kumpulan cerita pendek, tetapi saat ini masih terkendala oleh kesibukan masing-masing. Tahun 2018 saya ikut serta dalam proyek Urban Thriller yang digagas oleh salah satu penerbit terkemuka tanah air. Rencananya novel yang saya tulis dalam proyek tersebut akan terbit tahun ini. Saya juga menulis sebuah cerita pendek bertema historical mystery yang akan diterbitkan oleh sebuah penerbit independen dalam bentuk antologi bersama karya penulis-penulis lain.
Siapa saja tokoh sastra atau orang yang menginspirasi dan memengaruhi gaya menulis Anda?
Tidak semua buku yang saya baca itu sastra. Menurut saya penting untuk tidak diskriminatif dalam membaca buku jika ingin menjadi seorang penulis yang baik. Saya beruntung punya orangtua yang telah memperkenalkan saya pada dunia buku sejak kecil. Saat kanak-kanak saya rajin membaca buku-buku Enyd Blyton dan Agatha Christie. Kedua penulis ini adalah alasan saya berminat pada buku dan bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Seiring saya tumbuh, saya kenal juga dengan karya-karya Y.B. Mangunkusumo, Ayu Utami, Ong Hok Ham, Eka Kurniawan, Sekar Ayu Asmara, Edgar Allan Poe, Umberto Eco, Neil Gaiman, J. R. R. Tolkien, J.K. Rowling, Albert Camus, George Orwell, mereka semua yang menginspirasi saya untuk terus menulis dengan cara saya sendiri.
Di mana dan kapan waktu favorit Anda untuk menulis?
Saya bisa menulis di mana saja. Ide terbaik tidak datang saat berada di depan laptop, melainkan saat saya melakukan aktivitas lain, bisa saat mandi, saat bengong, saat mengantri di minimarket. Karena itu saya selalu membawa buku catatan kecil dan pulpen. Saya selalu mencatat di sana atau di memo smartphone saya, walaupun hanya satu kata. Nanti kata bisa berkembang menjadi kalimat, menjadi cerita. Jika sedang dikejar target menyelesaikan tulisan, saya lebih suka tempat yang tenang agar dapat berkonsentrasi, biasanya ya di kamar saya di waktu malam.
Berkaitan dengan tema UWRF19 yaitu Karma, bagaimana Anda memaknai hal tersebut?
Saya pikir karma adalah falsafah yang telah diterima secara universal. Setiap ada orang berbuat hal buruk, orang lain biasa bilang “Ingat karma!” walaupun penggunaan seperti ini mengesankan karma hanya berkenaan dengan tindakan buruk. Saya pun berpikir demikian sampai mendapat pelajaran khusus mengenainya dalam kuliah Filsafat Timur. Saat itulah baru saya ketahui karma itu berarti semua perbuatan dan pikiran, yang baik dan yang buruk. Jika diteruskan lagi konsep karma ini berkaitan dengan phala yang berarti buah, maka karma phala berarti perbuatan dan buah dari perbuatan tersebut. Perbuatan baik membuahkan kebaikan, sementara perbuatan buruk membuahkan hal buruk. Bisa dimaknai pula “apa yang kau tabur, itu pula yang akan kau tuai”. Andai kita sadar betul pikiran dan perbuatan kita punya kekuatan untuk memengaruhi kehidupan, tentulah kita hanya akan melakukan hal-hal baik saja.
Apakah Anda juga memiliki minat di bidang lain selain kepenulisan? Apakah itu?
Saya suka menggambar. Sewaktu sekolah saya hampir selalu berpartisipasi dalam bidang seni. Saya juga suka membuat kue. Rencananya dari kedua hobi ini saya akan merintis bisnis. Saya juga menggemari sejarah, terlebih jika ada kisah tentang orang-orang biasa di luar tokoh-tokoh besar sejarah. Buku non-fiksi yang saya sukai salah satunya adalah buku sejarah. Beberapa sejarawan yang lihai bercerita membuat sejarah jadi memikat untuk dibaca.
Apa yang ingin Anda lakukan dan lihat di UWRF19 pada bulan Oktober mendatang?
Bertemu dan bertukar gagasan dengan orang-orang baru dengan antusiasme yang sama pada dunia buku. Ini pertama kalinya saya mengikuti UWRF, dan yang mengejutkannya, saya akan mengikuti perhelatan ini sebagai Penulis Emerging. Tentu akan saya manfaatkan kesempatan ini untuk menyelami lebih dalam seluk-beluk kepenulisan, mengenal buku-buku yang belum pernah saya baca, mencerna topik-topik baik yang didiskusikan maupun yang dipertunjukkan.
Buku apa yang selalu ingin Anda baca tetapi hingga saat ini belum juga Anda baca?
Banyak buku yang saya ingin baca jika berada di toko buku atau perpustakaan tapi belum kesampaian. Yang terlintas di benak saya saat ini adalah sebuah novel berjudul Gadis Kretek karya Ratih Kumala. Kemudian buku-buku karya Orhan Pamuk dan Gabriel Garcia Marquez.