Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017: A. Nabil Wibisana

Posted: 12 October 2017 Author: sikuska

Di tahun 2017 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 15 Penulis Emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Selain itu, karya-karya yang terpilih akan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam buku Anthology 2017. Ke-15 Penulis Emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, dan Warih Wisatsana. 

UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging tersebut untuk mengenali mereka dan karya mereka lebih jauh. Di hari Kamis ini kami mengajak Anda untuk mengenal A. Nabil Wibisana yang berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur lebih jauh.

Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?

Seorang ayah. Kerani di sebuah perusahaan. Penyunting lepas. Arsiparis partikelir. Anggota komunitas sastra Dusun Flobamora. Dan, barangkali, pembaca yang rakus.

Apakah masih ingat momen di mana Anda menerima berita bahwa Anda terpilih sebagai salah satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia 2017? Ceritakan pada kami.

Menerima berita gembira setelah melewati hari yang berat? Berkat bisa muncul kapan pun, tanpa terduga. O ya, sekali lagi, saya berutang permohonan maaf sebab sebelum akhirnya menerima berita itu via telepon, ternyata sudah ada beberapa panggilan-tak-terjawab di ponsel saya. Bagian paling mendebarkan, buat saya, adalah kewajiban merahasiakan berita itu sampai ada pengumuman resmi di situs UWRF beberapa hari kemudian. Apa boleh buat, saya sangat suka rahasia.

Apa judul tulisan Anda yang terpilih dan apakah ada kisah di baliknya?

Dua judul puisi: Di Tepi dan Setelah Kembang Api. Tim Kurator UWRF 2017 tentu punya pertimbangan sendiri, meski sebenarnya, alih-alih dua puisi tersebut, saya cenderung memilih Itik Buruk Rupa dan Lubang Hitam Bahasa. Sebuah kebetulan yang cukup menarik karena Di Tepi dan Setelah Kembang Api adalah dua puisi pertama sementara Itik Buruk Rupa dan Lubang Hitam Bahasa adalah dua puisi terakhir dalam naskah yang saya kirim untuk seleksi UWRF 2017.

Kisah di balik puisi Di Tepi dan Setelah Kembang Api nampaknya bisa ‘dibaca’ langsung dari teks puisi. Satu hal penting yang bisa saya tambahkan di sini adalah dua puisi tersebut memang sepasang puisi, dalam arti saya menuliskannya dalam satu momen yang sama, momen pergantian tahun. Kebetulan rumah saya terletak di atas bukit, dengan pemandangan ke arah Teluk Kupang dan ke berbagai penjuru kota. Mulai malam sampai menjelang pagi, kembang api besar dan kecil menghiasi langit Kupang hampir tiada henti. Tepi pagi adalah momen saat kota seakan mati suri, sebelum siuman sekitar jam sembilan.

Kapan pertama kali Anda mendengar tentang seleksi Penulis Emerging Indonesia?

Sekitar awal Januari. Dari tahun ke tahun, publikasi UWRF sudah sedemikian ramai dan terbuka, sampai-sampai, saya pikir, sedikit sekali penulis (atau pembaca sastra) yang ketinggalan informasi mengenai seleksi Penulis Emerging Indonesia UWRF.

Sudah berapa lama Anda menulis? Dan siapa yang menginspirasi Anda?

Sejak masa kuliah belasan tahun lalu, terutama tulisan-tulisan semacam esai, opini, atau resensi buku. Perihal puisi, saya mulai serius menulisnya sejak tahun 2012. Inspiratif adalah istilah yang mewah, mungkin hanya pantas disematkan kepada orang-orang yang mengubah bukan hanya cara membaca dan menulis, tetapi juga cara melakoni hidup. Para raksasa seperti Basho, Ezra Pound, dan J. Khrisnamurti — jika harus memilih — jelas telah meninggalkan karya yang sedemikian kaya, sedemikian abadi. Di luar ketiganya, penulis-penulis favorit saya adalah semacam daftar panjang, merentang jauh dari penyair Yunani Kuno, Homer, sampai penyair cilik genius kelahiran Padang, Abinaya Ghina Jamela.

Apakah asal muasal Anda turut berperan dalam tulisan-tulisan yang Anda hasilkan?

Jika asal muasal secara sempit didefinisikan sebagai kampung halaman, bisa dikatakan tak banyak jejaknya dalam tulisan-tulisan saya. Lantaran lahir dan besar di kota metropolitan Jakarta, saya merasa tak memiliki akar kultural, semacam ikatan kuat yang membuat seseorang menjadi bagian dari puak tertentu. Meski begitu, kekayaan budaya dan kearifan lokal di tempat-tempat saya lama menetap (Yogyakarta, Timor) tentu punya peran secara langsung atau tak langsung terhadap cara pandang saya melihat dunia: identitas bisa sedemikian cair, batas antara diri (self) dan liyan (other) adalah ilusi belaka. Nah, jika asal muasal secara luas didefinisikan sebagai rumah asal, sumber, tempat pulang, spiritualitas, ke sanalah tulisan-tulisan saya berupaya menuju.

Beritahu kami di mana tempat favorit Anda untuk menulis di kota tempat Anda tinggal, dan apa alasannya?

Tak ada tempat khusus. Ketika ide untuk sebuah puisi muncul dan tak bisa ditunda untuk dituliskan di tempat yang semestinya—misalnya saat sedang mengemudi—saya bisa saja menulis dalam pikiran; kata demi kata ditambahkan, lalu disunting sampai menjadi satu puisi utuh. Beberapa tempat di sekitar Kupang, seperti Pantai Lasiana atau Taman Doa Oebelo, tentu punya pesonanya sendiri, memancing mood menulis. Namun, bagaimanapun, jika sunyi-di-luar adalah pintu, sunyi-di-dalam adalah kunci.

Apa yang ingin Anda lakukan dan lihat di UWRF17 bulan Oktober mendatang?

Bertemu dengan orang-orang menarik. Banyak melihat, mendengar, dan menyerap pengetahuan dan perspektif baru. Diskusi, diskusi, diskusi.

Apa saja yang ada di tas Anda saat ini?

Tablet dan perlengkapannya, notes, alat tulis, selendang motif Sabu, dan sejumlah bahan bacaan (buku saku The Wisdom of The Qur’an, buku kumpulan puisi Don Quixote, dummy print-out Majalah Sastra Santarang, dan brosur dari Creative Commons Indonesia).

 

Comments are closed.