Penulis Emerging 2018 // Reni Nuryanti

Posted: 01 August 2018 Author: sikuska

Yayasan Mudra Swari Saraswati telah mengumumkan 5 nama pemenang Seleksi Penulis Emerging Indonesia untuk hadir di panggung perhelatan sastra Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober mendatang. Tim kurator Seleksi Penulis Emerging Indonesia tahun ini terdiri dari Leila S. Chudori, Warih Wisatsana, dan Putu Fajar Arcana. Ke-5 penulis emerging ini akan bergabung bersama para penulis, pegiat, dan kreator seni dari seluruh dunia. Karya-karyanya yang terpilih akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibukukan dalam Antologi 2018.

UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2018. Kami telah melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging untuk mengenali diri dan karya mereka lebih jauh. Minggu ini, kami mengajak Anda untuk mengenal Reni Nuryanti dari Aceh.

Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?

Saya lahir di Cilacap pada 7 Desember 1984. Sejak tahun 2010, menetap di Aceh dan bekerja sebagai dosen sejarah di Universitas Samudra. Saya aktif menulis buku sejak tahun 2006. Buku pertama saya adalah Perempuan dalam Hidup Sukarno Biografi Inggit Garnasih. Hingga tahun 2016, lahir buku-buku yang bertemakan Sukarno dan Perempuan di wilayah konflik. Ada sekitar 10 buku yang saya tulis. Saya mencermati bahwa hubungan sejarah dengan sastra memang tidak bisa dilepaskan. Sejarah menyajikan data, sementara sastra menawarkan etika dan estetika dalam penulisan. Maka sejak tahun 2014, saya mulai mendalami sastra dan menuliskannya dalam format cerita pendek. Hampir semua cerpen yang saya tulis sepanjang tahun 2014-2018, bertemakan orang-orang kecil di pedesaan yang dibalut dengan nuansa sejarah dan budaya. Kumpulan cerpen saya antara lain: Semanis Senyum Mardiyem (2015) dan Kang Lehan Membakar Surga (2016).

Kapan dan dari mana Anda mendengar tentang Seleksi Penulis Emerging Indonesia? Apa yang membuat Anda memutuskan untuk mengumpulkan karya dalam seleksi ini?

Saya mendengar Seleksi Penulis Emerging Indonesia dalam program UWRF sejak tahun 2014, di saat belajar mendalami sastra di Yogyakarta. Seleksi Penulis Emerging Indonesia dalam program UWRF sangat bagus sebagai media untuk belajar mendalami sastra. Apalagi, UWRF menawarkan serangkaian program penulisan yang dihadiri penulis-penulis terbaik dari dalam dan luar negeri. Hal ini, saya anggap sebagai ‘surga inspirasi.’

Apakah judul karya terpilih Anda dalam seleksi ini? Ceritakan kisah di balik proses penulisannya.

Saya mengirimkan delapan naskah cerpen dan cerpen saya unggulkan adalah Kedasih di Kepala Kang Parno. Cerpen ini dibuat berdasarkan riset dan pengalaman hidup selama berada di Desa Rungkang (Cilacap). Cerpen ini sebenarnya menjadi sebuah persembahan untuk Almarhum Paman saya yang secara nyata mengalami kisah seperti halnya tertulis dalam cerpen. Kisah pahit yang membuat hidupnya berakhir ironi. Beragam intrik berbumbu kisah misteri dan mistik, mewarnai jalinan alur dalam cerpen Kedasih di Kepala Kang Parno.

Berkaitan dengan tema UWRF18 yaitu ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’, bagaimana Anda memaknai hal tersebut?

Dunia adalah sebuah objek yang menjadi tempat bernaungnya kehidupan, termasuk di dalamnya manusia. Ketenangan dan keselarasan dunia, terbentuk dari energi positif manusia yaitu: damai. Jika energi positif ini tersalurkan dengan maksimal,maka dunia akan menjadi tempat paling indah—yang mana manusia tidak ingin lekas ‘pergi’ meninggalkannya. Seperti sebuah puisi, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Di mana? Di dunia!

Apa yang ingin Anda lakukan dan lihat di UWRF18 pada bulan Oktober mendatang?

Saya ingin banyak belajar dan berdiskusi dengan penulis-penulis terbaik dari Indonesia seperti: Leila S. Chudori, Ahmad Tohari, dan Triyanto Triwikromo. Selain itu, ingin melihat pementasan film dan drama, atau juga mempresentasikan proses ketika saya melahirkan cerpen.

Buku apa yang selalu ingin Anda baca tetapi hingga saat ini belum juga Anda baca?

Lintang Kemukus Dini Hari

Comments are closed.