Penulis Emerging 2018 // Darmawati Majid

Posted: 08 August 2018 Author: sikuska

Yayasan Mudra Swari Saraswati telah mengumumkan 5 nama pemenang Seleksi Penulis Emerging Indonesia untuk hadir di panggung perhelatan sastra Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober mendatang. Tim kurator Seleksi Penulis Emerging Indonesia tahun ini terdiri dari Leila S. Chudori, Warih Wisatsana, dan Putu Fajar Arcana. Ke-5 penulis emerging ini akan bergabung bersama para penulis, pegiat, dan kreator seni dari seluruh dunia. Karya-karyanya yang terpilih akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibukukan dalam Antologi 2018.

UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2018. Kami telah melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging untuk mengenali diri dan karya mereka lebih jauh. Minggu ini, kami mengajak Anda untuk mengenal Darmawati Majid dari Gorontalo.

Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?

Saya seorang ibu dengan empat bocah, yang suka membaca menulis dan berharap kegemaran itu bisa menular ke ibu-ibu lainnya. Sejak kecil, saya suka membongkari buku-buku pelajaran bahasa Indonesia milik bibi saya yang saat itu duduk di bangku SMA, melahap habis isinya, dan girang sekali jika bertemu cerita-cerita pendek atau penggalan-penggalan novel serupa Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Saya penggemar Majalah Bobo (termasuk kalangan yang kecewa karena cerpen-cerpen Bobo sudah kehilangan daya tariknya seperti Bobo yang saya baca sewaktu kecil).

Ceritakan momen saat Anda menerima kabar bahwa Anda merupakan salah satu penulis emerging terpilih UWRF18.

Jumat, 22 Juni sore saya mendapat telepon. Hampir tidak saya angkat karena melihat nomor asing yang tertera di layar. Saya kira sales asuransi lagi, hahahaha. Ketika Mbak Sarrah memberi selamat kepada saya, saya malah belum percaya soalnya saya sudah berusaha melupakan UWRF ketika akhir Mei tidak ada pengumuman. “Saya kira sudah lewat pengumumannya, Mbak,” saya jawab begitu. Untungnya Mbak Sarrah sabar sekali meladeni kepesimisan saya. Setelah menerima telepon itu saya lari ke kamar memberi tahu suami. Dia langsung sujud syukur. Anak-anak mungkin heran mengapa ibunya gembira sekali.

Apakah judul karya terpilih Anda dalam seleksi ini? Ceritakan kisah di balik proses penulisannya.

Karya yang terpilih adalah cerpen saya yang berjudul Kak Sulaeman. Kisah seorang adik perempuan yang sedih tapi akhirnya berdamai dengan kehilangan kakak laki-lakinya. Cerpen ini merupakan proyek kecil-kecilan bersama seorang penulis yang juga seorang ibu sekaligus sahabat saya, Madia Gaddafi, di Komunitas Lego-Lego  Makassar. Kami berdua menamakannya proyek Prompter Mamak Berdaster, akal-akalan kami supaya terhindar dari kebuntuan menulis karena sibuk menjalani peran sebagai agen ganda: ibu rumah tangga sekaligus ibu yang bekerja. Caranya, kami saling melempar prompter cerpen dan menantang diri kami masing-masing untuk disiplin menyelesaikan satu karya dengan prompter itu dalam waktu satu minggu. Kami bergantian. Rencananya, kami akan mengumpulkan cerpen-cerpen itu dalam satu antologi. Sayangnya, karena kesibukan kami berdua, proyek itu akhirnya terbengkalai. Padahal, cerpen-cerpen hasil prompter itu semua lolos naik cetak di media. Totalnya baru ada tujuh cerpen. Cerpen Kak Sulaeman sendiri selesai dalam waktu satu minggu dua hari. Luar biasa adrenalin yang terpacu saat menulisnya. Saat akhirnya dimuat di Harian Fajar Makassar, 26 Maret 2017 lalu dan termuat dalam buku kumpulan cerpen pertama saya, saya sangat bersyukur bisa sampai sejauh itu. Saya sendiri tidak menyangka karya itu yang dipilih kurator. Bahkan terpilih sebagai salah satu penulis Emerging Indonesia pun, saya tidak berani membayangkan. Saya tidak meragukan tulisan sendiri. Hanya, UWRF tahun ini banyak diminati penulis dari seluruh penjuru Tanah Air, jadi harus karya yang istimewa sekali yang akan lolos kurasi.

Siapa saja tokoh sastra atau orang yang menginspirasi dan memengaruhi gaya menulis Anda?

Saya banyak terinspirasi karya-karya Ahmad Tohari dan Dewi Lestari. Saya banyak belajar dari cara Ahmad Tohari mengangkat kesederhanaan masyarakat bawah dan segala permasalahan sosialnya menjadi begitu menggugah dan menohok.  Saya ingat tepekur lama setelah membaca cerpennya yang berjudul “SK Pensiun” di sebuah buku antologi cerpen yang bertema cinta, lalu sadar bahwa mata saya berkaca-kaca dan bulu roma saya menggeriap saat membaca akhir cerpen itu. Luar biasa cara beliau menggarap tema poligami, dari sudut pandang anak pelakunya, yang akhirnya memahami mengapa ayahnya harus kawin lagi di usianya yang renta.

Dalam hal ‘tokoh yang memengaruhi gaya menulis’, saya lebih suka menyebutnya ‘tokoh yang membuat saya kagum.’ Saya kagum pada ‘ketaatasasan Dewi Lestari terhadap ejaan dan tata bahasa Bahasa Indonesia, hal yang oleh kebanyakan penulis pemula, sering menjadi urutan kesekian. Kepatuhan pada kaidah bahasa Indonesia itulah yang selalu berusaha saya jaga setiap kali menulis. Apalagi saya berkerja di instansi yang menyerukan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apik dan santun.

Di mana dan kapan waktu favorit Anda untuk menulis?

Di rumah pas malam hari, saat anak-anak telah tertidur. Kalaupun ada ide yang terlintas, saya segera mengetiknya di ponsel. Di draf pesan singkat.

Berkaitan dengan tema UWRF18 yaitu ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’, bagaimana Anda memaknai hal tersebut?

Saya rasa, tema ini pas sekali dengan keadaan bangsa kita hari ini, apalagi menjelang pemilihan presiden tahun depan. Dengan tema ini kita diajak berkontemplasi sejenak, kembali ke kedirian kita, apa sebenarnya tujuan kita dalam hidup ini, merenungkan kebahagian bagaimana yang kita inginkan, dunia seperti apa yang ingin kita ciptakan untuk anak-anak kita. Apakah kita betulan bahagia ketika kita menjelek-jelekkan ‘mereka’ yang tidak sama dengan ‘kita’?

Sebagian besar dari kita juga cenderung gampang dipengaruhi oleh berita-berita yang semakin masif yang belum tentu benar, cenderung mudah memusuhi orang yang tidak sependapat, berbeda aliran atau golongan dengan kita, tanpa alasan yang kuat. Pokoknya hanya karena mereka berbeda! Itu saja. Kita tidak mau ‘repot’mencari tahu atau bahkan mencoba memandang dunia dari sudut pandang dan posisi mereka. Bisa saja ‘kan, caci maki dan kebencian itu pada dasarnya lahir karena menurut mereka, dunia berjalan tidak sesuai dengan yang mereka kehendaki. Tapi, saya percaya bahwa sebagai manusia-terlepas dari agama dan kepercayaan yang kita anut, kita semua mencintai kedamaian dan membenci kekerasan, kita semua ingin bahagia dengan cara kita masing-masing, kita semua memimpikan kehidupan yang lebih baik. Meskipun terkadang kebahagiaan dan kedamaian itu terdengar delusif, tapi toh kita tetap bangun setiap hari, berangkat ke kantor pagi-pagi buta, pulang petang dalam keadaan lelah. Sedelusif apapun kedengaran dan kelihatannya, kita tidak menyerah mengejar kebahagiaan itu. Kita tetap bertahan dengan segala kerumitan dan masalah yang disajikan hidup setiap harinya. Masa lalu adalah buku petunjuk untuk menjalani yang kini dan menghadapi yang esok.

Apakah Anda juga memiliki minat di bidang lain selain kepenulisan? Apakah itu?

Saya suka fotografi dan berharap suatu hari saya bisa serius juga menekuninya. Saya bermimpi suatu hari bisa menulis satu kumpulan kisah berisi foto yang saya ambil dengan cerita-cerita pendek tentangnya. Apalagi di zaman literasi digital seperti sekarang. Gambar bisa bercerita lebih banyak dari apa yang terkatakan.

Buku apa yang selalu ingin Anda baca tetapi hingga saat ini belum juga Anda baca?

Buku Seratus Tahun Kesunyian. Buku itu selalu disebut-sebut tapi saya tahan membacanya hanya sampai di halaman kelima. Realisme magis mungkin tak cocok dengan saya.

 

Comments are closed.