Obrolan Penulis Emerging Indonesia 2016: Boni Chandra

Posted: 27 September 2016 Author: sikuska

Teks oleh Putu Aruni Bayu

Di tahun 2016 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 16 penulis emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Ke-16 penulis emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Iswadi Pratama, dan Sonia Piscayanti. Mereka berhasil mengalahkan 894 penulis dari 201 kota di 33 provinsi Indonesia, tingginya angka tersebut menahbiskan seleksi tahun ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah seleksi.

UWRF menghadirkan seri “Obrolan Penulis Emerging Indonesia 2016”, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan tujuh pertanyaan kepada masing-masing penulis emerging tersebut sebagai bentuk pemanasan menjelang bulan Oktober mendatang. Kali ini Boni Chandra akan menjawab tujuh pertanyaan dari Putu Aruni.

uwrf16_authors_boni-chandra

Dari umur berapa Anda mulai menulis dan apa yang menginspirasi Anda ketika mulai menulis?

“Mungkin umur sepuluh atau sebelas tahun. Waktu itu, saya hanya menulis surat untuk mencurahkan perasaan. Awalnya, saya menulisnya untuk ibu dengan meletakkannya di bawah bantal. Pada tahun 2006, saya mengenal cerpen dan merasa bahwa jenis tulisan itu bisa mewakili banyak perasaan, dan saya melakukannya. Yang menginspirasi saya? Itu agak sulit. Saya tidak suka menunggu inspirasi untuk mulai menulis. Biasanya, saya akan memutuskan apa yang akan saya tulis, lalu melakukan riset dan membaca literatur yang berkaitan dengan itu. Bagi saya, inspirasi itu hanya dibutuhkan untuk mengemas cerita.”

Kapan Anda pertama kali mendengar tentang Ubud Writers & Readers Festival?

“Saya mendengarnya pada tahun 2012 dan mulai mengikuti seleksinya pada tahun 2015 dan 2016.”

Apa judul tulisan yang Anda ikut sertakan di Seleksi Penulis Emerging Indonesia 2016 dan bisa ceritakan sedikit tentang tulisan tersebut?

“Judulnya: Pabaruak. Pabaruak menceritakan kehidupan seorang lelaki yang bekerja sebagai pemetik kelapa (Mak Awu) dengan menggunakan jasa beruk. Suatu ketika, beruk yang biasanya digunakan Mak Awu hilang dari kandangnya. Kehilangan tersebut tidak hanya berakibat pada sang tokoh yang membuatnya putus harapan, tapi juga pada orang-orang pemilik batang kelapa yang tidak bisa mengenyam gulai, yang bahan mentahnya terbuat dari kelapa. Di cerpen itu, saya ingin mengatakan banyak hal, salah satunya adalah manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan makhluk lain.”

Apa tema penulisan favorit Anda?

“Lokalitas (bila itu bisa disebut sebuah tema). Saya menyukai objek tersembunyi yang jarang terjamah dan butuh riset optimal untuk melakukannya. Selama ini, saya hanya menulis tentang lokalitas Minangkabau. Suatu hari saya ingin mengisahkan lokalitas lain, terutama Bali dan Manokwari.”

Apa buku yang terakhir Anda baca?

“Perfume: The Story of a Murderer karya Patrick Suskind. Ini memang cerita lama. Saya agak terlambat, haha.”

Siapa penulis, pegiat, jurnalis, atau seniman yang ingin Anda ajak berbincang di UWRF 2016 pada bulan Oktober mendatang?

Suzanne Collins, Janet DeNeefe, Maggie Tiojakin dan Seno Gumira Adjidarma. Saya sangat ingin berbincang dengan (setidaknya tiga dari) mereka.”

Pilih kopi atau teh?

“Saya ingin terjaga sepanjang hari, maka jawabannya adalah kopi.”

Comments are closed.