Teks oleh Putu Aruni Bayu
Di tahun 2016 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 16 penulis emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Ke-16 penulis emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Iswadi Pratama, dan Sonia Piscayanti. Mereka berhasil mengalahkan 894 penulis dari 201 kota di 33 provinsi Indonesia, tingginya angka tersebut menahbiskan seleksi tahun ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah seleksi.
UWRF menghadirkan seri “Obrolan Penulis Emerging Indonesia 2016”, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan tujuh pertanyaan kepada masing-masing penulis emerging tersebut sebagai bentuk pemanasan menjelang bulan Oktober mendatang. DI hari ini, Arung Wardhana akan menjawab tujuh pertanyaan dari Putu Aruni.
Dari umur berapa Anda mulai menulis dan apa yang menginspirasi Anda ketika mulai menulis?
“Saya sejak usia 10 tahun sudah belajar menulis, karena sejak itu saya sudah membaca bukunya Ernest Hemingway yang berjudul Lelaki Tua Dan Laut, sejak itu pula saya disodorkan naskah drama Iwan Simatupang yang berjudul lakon RT Nol RW Nol, tentu realita dan isu-isu sosial kearifan lokal Indonesia menjadi inspirasi terbesar dalam setiap tulisan naskah drama saya.”
Kapan Anda pertama kali mendengar tentang Ubud Writers & Readers Festival?
“Sejak 2013 saya mengetahui Ubud Writers & Readers Festival.”
Apa judul tulisan yang Anda ikut sertakan di Seleksi Penulis Emerging Indonesia 2016 dan bisa ceritakan sedikit tentang tulisan tersebut?
“Saya mengirimkan 4 naskah drama, yang judulnya Carok tentang doktrin seorang ibu yang mengajarkan anaknya yang berusia 10 tahun untuk menuntut balas dendam atas kematian ayahnya karena peristiwa Carok tersebut. Lalu naskah yang berjudul Bangsat, merupakan pemindahan teks realita para pemuka agama di Bangkalan yang berlomba-lomba menjadi penguasa politik, hingga rela menjual anaknya sendiri kepada paham-paham feodalisme. Satu lagi berjudul Biadab, merupakan mutasi teks yang terinspirasi dari seorang Letnan Kolonel di Surabaya. Yang terakhir berjudul Marjinal, yang digubah menjadi Babak-Babak Tuan Besar dan merupakan politik media yang menjadi obyek terbesar bagi perkembangan budaya popular, karena setiap orang demam dan terjebak oleh dunia sosialita dan dunia media yang menjadi sarana kehancuran moral setiap manusia.”
Apa tema penulisan favorit Anda?
“Isu-isu sosial dan politik maupun kebudayaan.”
Apa buku yang terakhir Anda baca?
“Novel dari Andrea Hirata, yang judulnya Ayah.”
Siapa penulis, pegiat, jurnalis, atau seniman yang ingin Anda ajak berbincang di UWRF 2016 pada bulan Oktober mendatang?
“Seno Gumira Ajidarma, Slamet Raharjo, dan Iswadi Pratama.”
Pilih kopi atau teh?
“Saya pilih teh.”