Kami telah meluncurkan nama-nama pembicara tahap awal sejak 3 Juli lalu. Kami berbincang dengan penulis, seniman, dan pegiat ini untuk mengenal mereka lebih dekat sebelum mereka bergabung dengan kami pada bulan Oktober mendatang. Untuk menutup seri ini, kami berbincang dengan Nirwan Dewanto, penyair, esais, penyunting, dan kurator yang dikenal di kalangan sastra Indonesia karena sikap kritisnya terhadap sentimen populis nasionalis dalam karya sastra.
Kapan dan apa yang membuat Anda mulai menulis khususnya puisi dan esai?
Saya tertarik kepada penulisan—belajar menulis, mencorat-coret—sejak Sekolah Menengah Pertama karena saya terpancing oleh buku-buku dan majalah-majalah sastra yang ditinggalkan oleh ayah saya. Tetapi menulis dalam arti merasa mampu bersaing dengan para penulis “nasional” mulai saya kerjakan ketika saya berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Lingkungan pergaulan sastra dan seni di kampus dan di Bandung telah meyakinkan saya bahwa saya bisa jadi penulis. Di tahap itu saya sadar bahwa menulis adalah juga berpikir tentang tulisan. Sejak itu saya menulis esai, di samping puisi.
Dikenal sebagai penyair, esais, aktor, dan kurator. Sebutan mana yang lebih nyaman bagi Anda sendiri?
Dengan sebutan apa saya dipanggil, itu sungguh terserah kepada anda dan lingkaran pembaca. Selebihnya, karena saya menulis puisi, esai, fiksi, kritik seni, tentu saya boleh dipanggil dengan predikat yang melekat kepada setiap kerja tulis-menulis tersebut—penyair, esais, dan seterusnya. Secara mudah, nyaman dan sederhana, anda boleh menyebut saya sastrawan atau penulis saja, atau writer dalam bahasa Inggris. Yang pasti, saya bukan aktor. Memang saya pernah menjadi pemeran utama dalam film Soegija (2012) garapan Garin Nugroho, tapi ini kiprah pemeranan saya yang pertama dan terakhir. Saya merasa tidak punya waktu untuk mendalami seni peran. Di luar itu, saya memang menjalankan kerja kurasi untuk seni pertunjukan dan seni rupa. Jadi, boleh juga saya disebut kurator.
Apa yang biasanya Anda lakukan jika sedang mengalami kebuntuan dalam berkarya?
Nasihat saya kepada diri sendiri: kebuntuan menulis itu soal teknis, yang selalu bisa dipecahkan, misalnya dengan menulis secara cepat dan “otomatis” tanpa banyak berhitung soal kesempurnaan tulisan. Kesempurnaan itu kita kejar belakangan, dengan menyunting berulang kali. Jadi, saya tidak menganggap serius kebuntuan tersebut. Saya percaya bahwa seorang penulis di sebagian besar waktunya semestinya membaca—membaca buku, membaca kehidupan. Menulis adalah efek samping dari lelaku membaca. Buat saya, waktu untuk menjelajahi pustaka dan mengerjakan observasi jelaslah bukan kebuntuan menulis.
Menurut Anda, hal apa saja yang bisa memberi ‘nyawa’ dalam sebuah karya seni seperti puisi?
Tidak ada nyawa yang bisa anda tiupkan ke dalam karya anda. Karya anda adalah sepenuhnya hasil dari seluruh visi anda dan keterampilan anda. Visi dan keterampilan bukan dua hal terpisah. Sastrawan itu tidak lebih dari perajin kata, wordsmith, belaka. Visinya akan tampak dari jalinan unsur-unsur dalam karyanya, dari bentuk sastranya. Visi si penulis akan bertemu dengan visi sang pembaca. Bila keduanya berjodoh, mungkin itulah yang Anda sebut dengan “nyawa”.
Apa pencapaian tertinggi yang telah Anda peroleh selama Anda berkarya atau berproses selama ini?
Saya tidak mencapai apa-apa. Dan belum mencapai apa-apa. Hadiah dan penghargaan sastra yang saya terima, penerjemahan saya ke dalam bahasa-bahasa asing, kehadiran saya di beberapa festival sastra—semua itu hanya meyakinkan saya bahwa selalu harus beranjak dari titik awal lagi. Terhadap pertanyaan anda yang terlalu “optimistis” itu mungkin saya hanya bisa “membanggakan diri” bahwa saya dengan jalan sastra bisa menghayati dunia dengan lebih tajam, dan saya ingin berbagi penghayatan ini dengan siapa saja yang mungkin.
Adakah pesan yang ingin disampaikan untuk mereka yang berminat menekuni dunia kepenulisan?
Kepada para penulis yang baru mulai, kepada para penulis yang sudah punya nama, dan terutama kepada diri saya sendiri, saya ingin mengatakan bahwa di sepanjang sejarah umat manusia di dunia ini sudah terlalu banyak karya yang cemerlang. Ke dalam lautan adikarya itu, kita mau menambahkan apa lagi? Mungkin kita berkarya hanya untuk sekadar mengurangi polusi (polusi budaya, katakanlah begitu) yang sudah telanjur ada di dunia ini. Tidak ada kegagahan apa pun dalam menjadi penulis. Menjadi penulis itu sama wajarnya dengan menjadi tukang soto atau apoteker.
UWRF19 akan merayakan tema Karma. Apa makna Karma bagi Anda?
Saya menjadi penulis karena sudah ada para penulis sebelum saya, karena mereka sudah memberikan kekayaan khazanah pustaka sedunia kepada saya, kepada para penulis yang datang kemudian. Itulah “karma” saya. Saya “terhukum” menjadi penulis karena begitu banyak karya cemerlang di muka bumi ini. Dua karya fiksi saya, Buku Merah dan Buku Jingga, misalnya, berhutang kepada Mahabharata, Ramayana, pertunjungan wayang kulit, dan seni kontemporer Indonesia dan dunia. Demikianlah “karma” yang harus saya jalani. “Karma” dalam arti sekuler, dalam arti kreativitas sastra, adalah anxiety of influence, jika saya boleh meminjam ungkapan Harold Bloom.
Manakah karya Anda yang paling Anda rekomendasikan untuk diketahui oleh mereka yang sebelumnya belum terlalu mengenal karya-karya Anda?
Mungkin anda bisa mulai dari karya saya yang paling mutakhir, Buku Jingga (fiksi), kemudian bergerak ke belakang—Buku Merah. Dan terus bergerak ke belakang, ke buku-buku esai saya, Senjakala Kebudayaan, misalnya. Kemudian buku-buku puisi saya, misalnya Buli-Buli Lima Kaki. Khalayak berbahasa Inggris tentu harus mulai mengambil Museum of Pure Desire, sajak-sajak saya dalam terjemahan Inggris.
Adakah proyek atau karya terbaru yang sedang Anda kerjakan saat ini? Bisakah diceritakan sedikit kepada kami?
Beberapa kali saya mendengar kawan-kawan penulis saya dari mancanegara berkata (kurang-lebih): “Janganlah bicara tentang buku apa yang sedang kau tulis. Itu akan menghalangimu untuk cepat-cepat merampungkannya.” Saya sangat percaya kepada pendapat yang demikian.
Ingin mendengar lebih banyak dari Nirwan Dewanto? Datang ke perhelatan sastra, seni, dan budaya #UWRF19 pada tanggal 23-27 Oktober mendatang. Jangan lewatkan pengumuman pembicara lengkap kami pada pertengahan Agustus.