Dengan lebih dari 180 pembicara dari 30 negara, Ubud Writers & Readers Festival sudah seperti oase bagi para pencinta seni, sastra, dan budaya. Setiap minggu menjelang Festival, kami akan berbincang dengan seorang pembicara Festival yang karyanya mungkin belum Anda kenali, tetapi barangkali bisa menjadi salah satu pembicara favorit Festival Anda. Minggu ini, kami berbincang dengan Feby Indirani, seorang penulis dan jurnalis yang karya-karyanya fokus pada masalah wanita dan kaum minoritas.
Apa saja isu dan topik yang ingin Anda eksplor selama UWRF18?
Saya akan mengeksplorasi gagasan dan gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It’s Just Religion) yang saya dan tim kampanyekan sejak setahun terdiri atas 3 aspek: sastra, seni dan pelatihan yang telah berlangsung di berbagai kota di Indonesia. Topik ini juga sangat relevan dengan tema UWRF yaitu Jagadhita (The World We Create) di mana gerakan ini membangun ruang bagi seniman, partisipan dan publik untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pengalaman mereka mengenai isu-isu keberagamaan yang biasanya tabu untuk dipertanyakan. Saya juga ingin mengeksplorasi bagaimana aspek humor dan empati pada sastra bisa menjadi alternatif meredakan ketegangan yang kerap terjadi karena perbedaan tafsir agama.
Siapa yang Anda harapkan menjadi peserta panel diskusi Anda di UWRF18?
Semua orang yang tertarik berdiskusi tentang sastra dan bagaimana sastra bisa menjadi medium yang jujur mengungkapkan hal-hal yang kerap ditabukan; mereka yang percaya sastra bisa menjadi jembatan bagi pihak-pihak yang berseberangan dan bersitegang; mereka yang percaya langkah-langkah kecil bisa dilakukan untuk menggerakkan perubahan.
Menurut Anda, apa pencapaian tertinggi yang telah Anda peroleh selama Anda berkarya atau berproses selama ini?
Sejauh ini, pencapaian tertinggi bagi saya adalah melihat bagaimana karya yang saya hasilkan dalam bentuk teks telah memberikan dampak dan terus berkembang secara organik sebagai suatu gerakan.
Selama setahun terakhir, Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017) telah menggerakkan percakapan, diskusi, ekslorasi dan kolaborasi seni terkait dengan persoalan beragama di Indonesia. Cerita-cerita di dalam Bukan Perawan Maria telah dan sedang ditafsir oleh para seniman muda ke dalam berbagai medium seni lainnya seperti instalasi, audio-art, dan pertunjukan. Acara tafsir rupa dan gerak Bukan Perawan Maria telah berlangsung di Jakarta, Bandung, dan Lombok pada 27 Oktober 2018. Saya bersyukur telah ikut berkontribusi membangun ruang bagi seniman, pekerja kreatif dan publik untuk ikut berpartisipasi dalam meredakan ketegangan dalam lingkup kehidupan keberagamaan.
Apakah saran terbaik yang pernah Anda terima selama berproses kreatif, dan saran terbaik yang bisa Anda berikan untuk mereka yang ingin menekuni bidang yang sama dengan Anda?
Ini yang saya katakan kepada orang yang ingin menulis, namun terutama kepada diri sendiri: Dunia membutuhkan karya yang rampung, bukan karya yang sempurna.
Manakah karya Anda yang paling Anda rekomendasikan untuk dikenal oleh mereka yang sebelumnya belum mengetahui karya-karya Anda?
Banyak orang akan menyarankan Anda untuk membaca Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017) atau dalam terjemahan bahasa Inggrisnya Not Virgin Mary (Gramedia Pustaka Utama, 2018). Saya setuju dengan mereka, sejauh ini ia adalah buku terbaik yang mencerminkan karakter kepenulisan saya.
Ceritakan pengalaman berkesan di balik pembuatan karya tersebut.
Penerbit arus utama tak jadi menerbitkan naskah Bukan Perawan Maria terkait situasi di Indonesia sedang tegang terkait isu keberagamaan, menyusul ketegangan situasi politik Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berujung pada dihukum penjaranya Basuki Tjahaya Purnama atas vonis penodaan agama. Itu yang membuat saya memilih menyerahkan naskah Bukan Perawan Maria kepada penerbit indie Pabrikultur. Namun, lima hari sebelum peluncuran buku dan pameran tafsir rupa Bukan Perawan Maria di Taman Ismail Marzuki, percetakan yang telah direkomendasikan terbaik menolak mencetaknya karena pemiliknya menganggap naskah tersebut mengolok-olok ajaran agama.
Feby Indirani akan hadir dalam sesi Main Program: Off Limits yang dijadwalkan pada Jumat, 26 Oktober pukul 13.00-14.15 WITA dan Main Program: Reni Eddo-Lodge: Changing The Culture yang dijadwalkan pada Sabtu, 27 Oktober pukul 13.00-14.15 WITA. Anda juga dapat menjumpai Feby Indirani dalam Fringe Event: Courageous Confessions yang dijadwalkan pada Kamis, 25 Oktober 2018 pukul 17.00-19.00 WITA.
Instagram: @feby.indirani | Twitter: @febyindirani |Facebook: Feby Indirani