SUPPORT NOW
Facebook Twitter Instagram Flickr LinkedIn

Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017: Taufiqurrahman

Posted: 14 September 2017 Author: sikuska

Di tahun 2017 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 15 Penulis Emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Selain itu, karya-karya yang terpilih akan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam buku Anthology 2017. Ke-15 Penulis Emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, dan Warih Wisatsana. 

UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging tersebut untuk mengenali mereka dan karya mereka lebih jauh. Taufiqurrahman yang berasal dari Yogyakarta hari ini akan membagikan kisahnya.

Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?

Saya sejatinya bukan penyair atau sastrawan, dan sama sekali tak punya kemampuan menulis puisi atau cerita. Saya hanyalah Mahasiswa filsafat yang jika sedang ‘mumet’ menghadapi teks-teks filsafat, suka membaca sastra. Jadi sastra menjadi semacam tempat bersinggah, tempat merenung dengan tenang, dan melihat kembali dunia dengan cara yang subtil, dalam petualangan saya di rimba filsafat yang amat melelahkan pikiran. Oleh Karena itu saya jadi betah dan merasa asyik berfilsafat. Tak lain karena dibubuhi dengan imajinasi sastrawi.

Apakah masih ingat momen di mana Anda menerima berita bahwa Anda terpilih sebagai salah satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia 2017? Ceritakan pada kami.

Waktu itu saya sedang tugas KKN di sebuah pulau terpencil di ujung Pulau Sumatera. Lebih tepatnya di Pulo Aceh, pulau yang ada di sebelah barat Pulau Sabang. Di situ susah sekali dapat sinyal. Saya baru tahu setelah buka email dan diberitahu panitia sudah berkali-kali menelepon saya, tapi nomor saya tidak aktif. Ya, saya kaget campur senang. Karena dulu ketika mengirim naskah esai ke UWRF hanya iseng-iseng saja dan tidak menyangka akan lolos seleksi. Tapi ternyata lolos. Ya, alhamdulillah!

Apa judul tulisan Anda yang terpilih? Dan apakah ada kisah di balik tulisan tersebut?

Solastalgia adalah judul esai yang sebenarnya saya tulis di semester empat untuk Jurnal filsafat yang kebetulan saya jadi salah satu redakturnya. Saat beberapa bulan yang lalu salah satu penerbit di Yogyakarta meminta saya untuk menerbitkan esai-esai yang pernah saya tulis dalam satu buku antologi, esai itu juga saya masukkan. Bukunya terbit bulan Januari tahun ini. Bulan Februari saya dapat informasi tentang UWRF. Esai itulah yang juga saya kirim bersama empat esai lainnya. Dan ternyata yang lolos seleksi esai yang sudah terbit dua kali itu. Jadi, esai itu beruntung sekali bisa terbit berkali-kali. Tapi perlu dicatat bahwa itu bukan self-plagiarism, karena baik penerbit saya maupun panitia UWRF tidak mensyaratkan tulisan yang belum pernah dipublikasikan.

Kapan pertama kali Anda mendengar tentang seleksi Penulis Emerging Indonesia?

Tahun pertama jadi mahasiswa. Sekitar tahun 2014.

Sudah berapa lama Anda menulis? Dan siapa yang menginspirasi Anda?

Saya menulis sejak SMP. Sudah sekitar 7 tahun. Ada tiga buku yang saya begitu berkesan membacanya dan sedikit banyak, juga mempengaruhi alam pikir saya, yaitu: Kiri Islam karya Kazuo Shimogaki; Sunni-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah? karya Quraish Shihab; dan Tasawwuf sebagai Kritik Sosial karya Said Aqil Siroj. Tulisan-tulisan saya lebih banyak diinspirasi oleh pemikir-pemikir Islam. Baru sejak masuk perguruan tinggi, saya mulai membaca filsafat secara serius. Di situlah tulisan-tulisan saya terbentuk oleh perjumpaan dengan Ibn ‘Arabi, Martin Heidegger, dan kemudian Edmund Husserl.

Apakah asal muasal Anda turut berperan dalam tulisan-tulisan yang Anda hasilkan?

Ada, namun tidak seluruhnya, karena belakangan saya fokus menulis filsafat dan sesekali menulis kritik sastra yang jarang sekali bersentuhan dengan ruang sosial-kebudayaan tempat saya berasal. Namun bagaimanapun, entah disadari atau tidak, perspektif seorang penulis itu tidak terbentuk secara tiba-tiba, tetapi melalui pertemuannya dengan banyak hal selama hidupnya, dan terutama lingkungan asal-muasal yang turut membesarkannya. Itu saya sadari ketika harus berhadapan dengan teori-teori besar dalam filsafat (dan juga sastra). Ini juga membuktikan bahwa penulis tak pernah menulis tanpa prasangka, tanpa pra-andaian yang dibentuk oleh masa lalunya. Sebab penulis adalah manusia biasa yang punya masa lalu, punya kenangan dan asal-muasal.

Beritahu kami di mana tempat favorit Anda untuk menulis di kota tempat Anda tinggal, dan apa alasannya?

Perpustakaan kampus dan kosan. Alasannya praktis: untuk menulis, saya butuh ketenangan.

Jika Anda harus terjebak di sebuah pulau terpencil hanya dengan satu buku, buku apakah itu?

1984-nya George Orwell.

Buku apa yang saat ini sedang Anda baca?

Saya sedang mempersiapkan penulisan tugas akhir saya. Jadi untuk sementara, bacaan-bacaan sastra ditunda. Sekarang saya sedang bergelut dengan buku-buku Edmund Husserl dan teks-teks seputar ontologi.

Apa saja yang ada di tas Anda saat ini?

Tidak ada apa-apa!

 

Comments are closed.