Di tahun 2017 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 15 Penulis Emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Selain itu, karya-karya yang terpilih akan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam buku Anthology 2017. Ke-15 Penulis Emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, dan Warih Wisatsana.
UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging tersebut untuk mengenali mereka dan karya mereka lebih jauh. Di hari Kamis ini, Muhammad Subhan yang berasal dari Padang, Sumatera Barat akan membagikan kisahnya.
Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Saya lahir dari keluarga yang bukan penulis dan bukan penyuka buku. Almarhum ayah saya adalah seorang tukang sol sepatu dan Ibu adalah seorang pembantu rumah tangga. Kedua-duanya jauh dari buku dan tidak pernah menulis. Meskipun kedua orangtua saya miskin, tidak ingin saya tumbuh menjadi anak yang mewarisi kemiskinan mereka. Maka mereka menyekolahkan saya
Di kelas 2 SMA saya terpilih sebagai pengurus OSIS. Jabatan itu memudahkan saya untuk meneruskan cita-cita menulis yang puncaknya saya menggagas penerbitan majalah sekolah. Suatu hari, saya memberanikan diri mengirim tulisan ke koran. Sebulan kemudian, ada seorang teman yang datang ke rumah, membawa selembar koran. Dia mengatakan kalau di koran itu ada tulisan saya. Tulisan saya terbit nyaris hampir satu halaman. Luar biasa!
Sepanjang kurun tahun 2000-2009, saya bekerja di sejumlah koran mingguan dan koran harian di Padang. Pekerjaan itu mempertemukan saya dengan seorang Penyair Indonesia asal Sumatra Barat, Taufiq Ismail. Kebetulan, pada tahun 2008 Penyair Taufiq Ismail membangun Rumah Puisi yang bediri di antara pertemuan kaki dua gunung, yaitu Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Di dalamnya tersimpan 8000 judul buku. Dan, pada 2009, saya ditawarkan mengurus rumah itu, sekaligus menjadi manajer program yang mengatur sejumlah kegiatan sastra, khususnya untuk guru dan siswa.
Apakah masih ingat momen di mana Anda menerima berita bahwa Anda terpilih sebagai salah satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia 2017? Ceritakan pada kami.
Sangat ingat. Dan, momen itu sungguh berkesan.
Suatu siang, tiba-tiba ponsel saya berdering. Di layar, saya melihat nomor asing. Kebetulan saya sedang di rumah, menggeluti rutinitas harian, menulis. Saya angkat ponsel, terdengar suara seorang perempuan. Suaranya lembut. Sapaannya ramah. Siang yang terik itu, di rumah saya, terasa sejuk sekali.
Apa judul tulisan Anda yang terpilih? Dan apakah ada kisah di balik tulisan tersebut?
Judulnya Rumah di Tengah Sawah. Sebuah novel remaja. Menulis Rumah di Tengah Sawah, saya mengulang memori masa kecil, dengan segala kenangan suka dukanya. Saya lahir di Tembung, Medan, Sumatra Utara. Sebelum tinggal di Aceh, ayah saya membangun rumah sederhana yang uangnya ia kumpulkan dari pekerjaan sebagai tukang jahit pakaian—setelah ke Aceh ayah bekerja sebagai tukang sol sepatu. Tapi, rumah itu berada jauh di tengah persawahan luas. Ada tiga rumah lainnya di sekitar rumah kami. Saya berteman akrab dengan anak-anak tetangga yang berada tiga rumah itu.
Ayah si tokoh cerita (Agam) cek-cok dengan tetangga gara-gara pot bunga yang pecah sebab tersenggol sepeda ayah. Pot itu pecah, dan ayah diminta mengganti rugi. Cerita kemudian didramatisir dengan terjadinya penggusuran besar-besaran oleh pemerintah kota, sebab di areal persawahan itu akan dibuat pabrik dan terpaksa pemilik rumah harus terusir dari tanah mereka sendiri. Legalitas hak pakai tanah yang tidak dimiliki melegalkan penggusuran itu terjadi. Dan, semua penghuni rumah di tengah sawah harus berpisah selama-lamanya.
Kapan pertama kali Anda mendengar tentang seleksi Penulis Emerging Indonesia?
Seleksi Penulis Emerging Indonesia UWRF saya amati sejak 2010. Namun mulai serius mengirim karya sejak 2012. Saya terobesisi untuk tembus UWRF, dan setiap tahun saya menyimak dan mengikuti perkembangan informasi UWRF sambil terus menulis dan mengirim karya.
Apakah asal muasal Anda turut berperan dalam tulisan-tulisan yang Anda hasilkan?
Sangat berperan, dan asal muasal itu, secara kronologis sudah saya kisahkan sedikit di atas.
Siapa yang menginspirasi tulisan Anda?
Ibu saya, walau beliau tidak menulis (buku). Ibu adalah inspirasi lahirnya novel-novel saya. Kemiskinan yang dideranya selama bertahun-tahun menjadi cambuk bagi saya untuk bekerja keras melahirkan karya yang kelak mampu membahagiakan ibu, mengubah nasibnya. Sebab, setelah ayah tiada, ibu satu-satu perempuan di dunia ini yang membuat saya kuat dan tegar menghadapi badai kehidupan, di samping istri dan seorang putra saya tercinta. Semoga Tuhan memberi saya kesempatan untuk membahagiakan ibu dan keluarga saya.
Apa yang ingin Anda lakukan dan lihat di UWRF17 bulan Oktober mendatang?
Saya ingin bertemu dan berdiskusi dengan penulis-penulis dunia yang diundang ke UWRF. Saya ingin banyak belajar dari mereka, termasuk kepada Penulis Emerging Indonesia lainnya yang terpilih mengikuti perhelatan ini walau dari segi usia beberapa di antaranya jauh di bawah saya. Tetapi belajar tidak mengenal usia, kepada siapa pun perlu belajar. Dan, itu yang ingin saya lakukan, di samping saya ingin melihat keindahan Pulau Dewata yang menjadi kiblat pariwisata Tanah Air di mata dunia. Di pulau ini saya ingin menemukan ide-ide lain untuk tulisan-tulisan saya berikutnya.
Jika Anda harus terjebak di sebuah pulau terpencil hanya dengan satu buku, buku apakah itu?
Novel. Dari satu buku (novel) itu saya ingin menulis novel-novel yang lain di pulau itu. Tentu, di pulau itu banyak sekali cerita yang bisa ditulis menjadi novel yang lain. Dan itu tidak mustahil.
Buku apa yang saat ini sedang Anda baca?
Di saat jawaban wawancara ini saya tulis, saya sedang berada di ruang tunggu Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta, sepulang dari mengikuti Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) II di Hotel Mercure, Ancol, 18-20 Juli 2017. Saya kebetulan diundang sebagai salah seorang peserta, di antara 144 sastrawan Indonesia lainnya—di Sesi Pertama acara ada Janet DeNeefe, dari UWRF. Dan, buku yang sedang saya baca adalah buku kumpulan cerpen Rajab Syamsudin Si Penabuh Dulang dan Sejumlah Cerita Lainnya karya Deddy Arsya (Emerging UWRF 2015). Buku ini sebagai teman saya selama di perjalanan sebab belum sempat terbaca sejak saya membelinya.