Di tahun 2017 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 15 Penulis Emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Selain itu, karya-karya yang terpilih akan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam buku Anthology 2017. Ke-15 Penulis Emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, dan Warih Wisatsana.
UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging tersebut untuk mengenali mereka dan karya mereka lebih jauh. Hari ini giliran Ibe S. Palogai, dari Makassar, Sulawesi Selatan yang akan berbagi cerita dengan kita semua.
Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Saya keras kepala dan mudah menyesal. Saya adalah pendiam yang tidak bisa kehabisan kata-kata. Dan itu adalah diri saya yang lain.
Apakah masih ingat momen di mana Anda menerima berita bahwa Anda terpilih sebagai salah satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia 2017? Ceritakan pada kami.
7 juli 2017. Saya tidak bisa lupa momen itu. Bukan semata mendapat telepon dari tim UWRF 2017, tetapi itu juga tanggal ulang tahun saya yang ke-24. Sempat tidak percaya, tanpa bermaksud meragukan karya yang saya kirim. Beberapa teman baik tahu kalau saya mengirim karya, saya pikir barangkali mereka ingin membuat semacam kejutan yang kecut. Tapi selalu ada cara membuktikan kebenaran. Intinya saya terkejut dan menyembunyikan kebahagiaan itu.
Apa judul tulisan Anda yang terpilih? Dan apakah ada kisah di balik tulisan tersebut?
Dua puisi saya terpilih, Allegia dan Konkuisnador. Tema besar dari manuskrip puisi yang saya kerjakan adalah Perang Makassar. Perang yang meruntuhkan kejayaan Kerajaan Gowa dalam sekejap, 21 Desember 1666 sampai 18 November 1667 dan menjadikan Kerajaan Bone bersama sekutunya sebagai penguasa mutlak daratan Selatan pulau Sulawesi. Pengaruh Perang Makassar masih terasa di masyarakat Sulawesi Selatan. Pertanyaan tentang, dari garis keturunan siapa yang pantas menjadi Gubernur? Atau mengapa masih ada orang tua yang enggan menikahkan anak perempuannya yang bersuku Bugis dengan dengan lelaki keturunan Makassar?
Tetapi, yang paling penting, dua puisi itu mewakili pertanyaan paling meresahkan dalam pengamatan saya tentang efek Perang Makassar, bagaimana orang Sulawesi Selatan menyikapi kekalahan? Seolah kalah adalah yang memalukan. Bahkan terjadi bias interpretasi, kalah berarti direbut siri’-nya – dalam tradisi Sulawesi Selatan, siri’ berarti malu, atau dalam pengertian yang lebih luas, telah direbut harga dirinya. Sikap semacam ini semacam mengabaikan pertanyaan, apa yang telah kita lakukan dalam usaha menjaga siri’? atau barangkali, dalam beberapa hal, kita belum layak mendapat siri’ itu sendiri.
Kapan pertama kali Anda mendengar tentang seleksi Penulis Emerging Indonesia?
Tahun 2011, meski saya butuh beberapa tahun untuk bisa mengirim karya ke UWRF.
Sudah berapa lama Anda menulis? Dan siapa yang menginspirasi Anda?
Saya menulis puisi sejak dikeluarkan dari pesantren, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Yang menginspirasi saya dalam menulis adalah Karaeng Pattinglaoang dan seorang tukang cukur di kampung saya.
Apakah asal muasal Anda turut berperan dalam tulisan-tulisan yang Anda hasilkan?
Saat melihat lukisan tanah liat Benteng Somba Opu karya Zainal Beta. Lukisan berbahan tanah liat Itu memenangkan ide dalam diri saya yang menolak gagasan bahwa tidak ada hal baru di bawah langit. Saya pikir, ada banyak hal yang belum pernah ditulis dan dilakukan oleh penulis. Tapi saya tetap percaya, semua hal di dunia ini berhubungan. Jadi iya, asal muasal saya mempengaruhi tulisan saya.
Beritahu kami di mana tempat favorit Anda untuk menulis di kota tempat Anda tinggal, dan apa alasannya?
Perpustakaan Katakerja. Saat teman-teman Pustakawan mulai tidur, buku-buku seperti terbangun.
Apa yang ingin Anda lakukan dan lihat di UWRF17 bulan Oktober mendatang?
Berdiskusi dan menemukan gagasan menarik untuk saya bawa pulang.
Jika Anda harus terjebak di sebuah pulau terpencil hanya dengan satu buku, buku apakah itu?
Buku puisi pertama yang saya ‘stensil’ ketika di Pesantren. Itu akan membuat saya tertawa dan sesekali menyesal lalu tertawa kembali.
Buku apa yang saat ini sedang Anda baca?
Orang Laut – Bajak Laut – Raja Laut karya Adrian B. Lapian.
Apa saja yang ada di tas Anda saat ini?
Uang pecahan dua ribu, buku catatan, rokok, Macbook, pulpen, baju, buku Lima Serpihan Moral karya Umberto Eco dan buku yang sedang saya baca di atas.