Dari Ubud ke Melbourne, Catatan Azri Zakkiyah di Emerging Writers’ Festival 2017

Posted: 06 July 2017 Author: sikuska

Sebagai bentuk kerjasama Ubud Writers & Readers Festival dengan Emerging Writers’ Festival, setiap tahunnya kami selalu mengirimkan salah satu penulis emerging Indonesia ke Melbourne untuk ikut sebagai pembicara di EWF. Tahun ini penulis emerging Indonesia yang beruntung untuk terbang ke Melbourne adalah Azri Zakkiyah. Spesial untuk UWRF, Azri menuliskan pengalamannya selama di Melbourne dan perasaannya berdiri di atas panggung internasional.

Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016 telah memberikan saya banyak sekali “Pengalaman Pertama” dalam hidup. UWRF tidak hanya mengubah perjalanan menulis saya, akan tetapi telah mengubah hidup saya seluruhnya. Salah satu pengalaman pertama tersebut adalah mendapatkan kesempatan ajaib untuk menjadi pembicara di The Melbourne Emerging Writers Festival (EWF) 2017.

Di Opening Night EWF 2017, saya menyampaikan bahwa terpilih dalam 16 besar dari 894 penulis di seluruh Indonesia dalam Seleksi Emerging Writers UWRF 2016 membuat saya benar-benar merasa seperti Po dalam Kung Fu Panda. Tokoh yang dari kecil sudah saya gilai karena dia adalah figur Yin Yang yang menjadi jawaban dari ramalan kuno.

13 Juni 2017, saya telah berada di atas awan untuk penerbangan selama 12 jam dari Surabaya ke Melbourne. Di mana saya berangkat pada Matahari terbenam dan sampai saat Matahari terbit. Matahari terbit Pertama bagi saya di benua lain. Sesampainya di Melbourne, saya harus memulai petualangan pertama sendiri. Saya menghabiskan waktu berjam-jam menikmati Melbourne Tullamarine Airport dengan norak, memborong brosur-brosur dan city guide books, belanja paket internet, memilih-milih rute yang asyik ke hotel lewat Google Map, merekam setiap hal baru dengan foto dan video tanpa malu-malu.

Saya sangat menikmati setiap detik di Melbourne. Saya sangat terpukau dengan arsitektur, stasiun-stasiun, orang-orang asli, transportasi umum, cuaca Melbourne dan saya dapat mengatakan bahwa saya sangat mencintai kota ini. Keluar dari Melbourne Central Station, saya menghabiskan beberapa menit untuk ternganga melihat The State Library of Victoria. Saya bermimpi bahwa suatu hari buku-buku saya akan terpampang di Reading Room perpustakaan hebat itu.

14 Juni 2017 malam, saya berdiri di The Deakin Edge Theatre, Federation Square Melbourne, di depan ratusan hadirin untuk menyampaikan pidato di Opening Night kelas dunia Pertama bagi saya. Saya benar-benar emosional dan meletup-letup dibuatnya. Saya tidak percaya saya benar-benar di sana. Federation Square, pusat dari pusat kota Melbourne. Di acara pembukaan. Dan berdiri sebagai pembicara!

Tetapi di malam pertama yang terlampau indah di Melbourne itu, hal yang sangat mengesankan terjadi. Di Green Room The Deakin Edge Theatre, setelah menyantap beberapa pizza Australia Pertama saya untuk buka puasa, Arnold Zable,  orang yang paling saya sayangi di Ubud, masuk ruangan dengan senyum yang sangat lebar dan wajah begitu gembira dan langsung berjalan mengarah ke saya. Dia bilang tidak punya banyak waktu dan hanya datang untuk memberikan support dan mengucapkan ‘Good Luck’. Saya begitu tersentuh dan bahagia. Dia adalah orang yang percaya bahwa saya akan ke Melbourne sebelum seorang pun di muka Bumi berpikir itu bisa terjadi, termasuk diri saya sendiri. Dia selalu mendukung saya sejak di Bali. Malam itu dia tidak berhenti bertanya kepada panitia jam berapa giliran saya bicara. Dan tahukah, ketika saya di atas panggung, ternyata dia ada di antara salah satu barisan penonton! Tentu saja saya menyebut namanya dalam pidato!

Panitia meminta saya untuk bicara Bahasa Indonesia di Opening Night sebagai wakil pertukaran budaya. Dan Ma’am Yacinta Kurniasih, dosen senior Bahasa Indonesia di Monash University membaca versi Inggrisnya. Saya pikir, ketika harus berbicara di depan ratusan orang jenius, saya tidak harus berbicara sesuatu yang jenius. Cukup bicara sesuatu yang tidak terlupakan. Malam itu mengubah saya menjadi pelawak. Semua orang tertawa terpingkal. Dari penampilan tersebut, saya mendapatkan banyak email, Tweets, dan Facebook messages, yang memberikan saya banyak apresiasi, baik dari panitia EWF 2017 maupun dari artis yang lain. Dan tentu saja, Arnold Zable adalah artis pertama yang mengirimkan pesan apresiasi. Setelah malam itu, sepanjang festival bahkan di tempat-tempat umum di Melbourne, orang-orang mulai mengenali saya, menyapa dan menyalami saya sebagai Po.

Panel saya berikutnya adalah The Lunchtime Lit : Stories From The Archipelago, sebuah diskusi informal yang dipandu oleh Ma’am Yacinta. Kami bicara banyak mengenai latar belakang saya sebagai penulis muda Indonesia yang hidup di persilangan banyak dunia. Storytelling, spiritual, dan sains. Acaranya sangat menyenangkan dan lucu. Will Dawson, General Manager dari EWF 2017, dan Izzy Roberts, direktur EWF 2017 bahkan turut datang menonton.

Hari berikutnya, Izzy meminta saya untuk tampil di satu sesi lagi, di salah satu highlight EWF, Amazing Babes. Tentu saja saya merasa sangat terhormat dan dengan gembira menerima permintaan tersebut. Saya cek tiket yang terjual di sesi itu sudah habis tapi saya lihat orang-orang masih antri panjang untuk mendapat tiket waiting list. Di Amazing Babes, saya harus berbicara tentang wanita yang memiliki peran besar dalam hidup saya. Saya memutuskan untuk tidak mainstream. Mencoba membawakan kembali Tat Tvam Asi dan mengakrabkan diri pada semua orang, saya memilih untuk membacakan Surat untuk Mother Eve. Ibu Hawa. Chava. Dan sekali lagi, saya menjadi pelawak karena seluruh ruangan penuh dengan tawa persis seperti di Opening Night.

Saya menonton beberapa sesi lain di festival, termasuk panel Arnold Zable. Mengunjungi banyak sekali tempat di Melbourne, tempat-tempat yang sebelumnya hanya saya baca dari buku dan nonton film. Mempelajari aksen Australia dari orang-orang aslinya, mencoba hal-hal yang sangat baru dalam hidup saya, dan menikmati bulan Ramadhan di Melbourne yang sangat-sangat menyenangkan. Udara yang beku dan waktu puasa yang lebih pendek membuat puasa jadi sangat ringan. Mencari masjid dan makanan halal di sana sangat menantang. Ajaibnya, hampir setiap hari ada yang mentraktir saya buka puasa.

Di malam terakhir sebelum pulang saya makan sushi dari Flinder Station di satu bangku paling nyaman di depan The State Library, ketika itu ada sebuah aksi untuk membela pengungsi di Australia. Itu sangat indah dan banyak mengingatkan saya akan sifat dasar manusia yang saling mencintai. Saya tidak akan bisa move on dari kota penuh cinta ini. Tidak akan.

Kabar baiknya adalah, saya punya kesempatan lagi untuk ke Melbourne bulan depan dalam Program Residensi Penulis yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Saya akan di sana lagi selama dua bulan pada Agustus dan September 2017.

 

Comments are closed.