Teks oleh Abdul Azis Rasjid
Senja mengental dalam gelas kopiku
Dan kureguk sebagai puisi yang pahit
― Acep Zamzam Noor, “Pastoral” (1991)
Kopi identik sebagai metafor kepahitan. Ungkapan tak langsung yang menyiratkan pertautan hayat bersama resah, susah, pedih, cemas, getir atau pun murung. Singkat kata, dalam puisi: kopi kerap menjadi ihwal mengekspresikan kesukaran kondisi jiwa.
Sebagai realitas, pahit kopi selamanya adalah reaksi biologis di pangkal lidah semata. Kenyataannya, kopi adalah cairan ajaib yang ikut mengukuhkan bahwa seseorang mengandung dalam dirinya orang lain untuk membangun ikatan. Meski pahit, sembari menyeduh lantas meminum kopi, tak jarang orang saling mengakrabkan diri, beramah tamah, bertukar informasi serta menghangatkan perbincangan.
Di ujung gelaran UWRF 17 tepatnya 29 oktober 2017, sore hari di Taman Baca, enam belas penulis terpilih berkumpul sembari menikmati kopi. Sesuai rencana, penyair Muhammad Isa Gautama dan cerpenis Aksan Taqwin Embe membawa serbuk kopi dari daerah masing-masing. Dipertemukan lewat karya sastra, 16 penulis dari Maumere sampai Yogyakarta merasakan pahit kopi yang juga dicecap oleh lidah orang-orang di Banten juga Padang.
Sementara, cahaya matahari senja menerpa Ubud, pecah menjadi semburat keemasan. Tak pernah ada pertemuan bersifat abadi.
I
Satu hari kemudian saya sudah berada di kota Malang usai menjadi bagian dari 16 penulis terpilih UWRF 17. Malang tempat kelahiran saya, kota yang selalu berhasil mengembalikan kenangan-kenangan tentang cinta monyet. Sore itu saya cuma berdua dengan Mama, dan perempuan berusia 65 tahun itu meracik kopi Padang yang saya bawa dari Bali. “Tulisanmu cerita toko buku loak,” kata Mama setelah membolak-balik lembar-lembar halaman buku Origins Sangkan Paraning Dumadi A Bilingual Antology of Indonesian Writing.
Tujuh tahun silam, esai pendek itu, “Kisah Buku Loak”, saya tulis di Malang. Lewat 777 kata, saya menulis bahwa buku-buku dalam toko buku loak —yang acapkali selalu berada dalam lokasi pinggiran/terpinggirkan, ditumpuk bercampur baur— tak berarti ikut terpinggirkan dan berkurang potensinya untuk menyuarakan sikap kritis dan dialogis penulis. Di toko buku loak, tiap calon pembaca malah memiliki kebebasan untuk memilih buku yang akan dibacanya berdasar dari kebutuhan dirinya di luar pengaruh pelabelan yang acapkali menilapkan potensi buku. Transaksi penawaran yang luwes juga dapat menjadi bekal utama calon pembaca untuk mendapat buku dengan harga yang murah.
Di tempat saya bermukim saat ini, Kabupaten Cilacap, hampir separuh dari 500 buku koleksi saya berasal dari toko-toko buku loak yang berada di Malang, Yogya atau Purwokerto Kabupaten Banyumas. Seusang apapun buku yang saya dapat di toko-toko buku loak, memiliki ikatan emosional tersendiri. Kisah buku loak itulah yang telah mengantarkan saya untuk ikut duduk membicarakan dan mendengarkan pandangan-pandangan dari berbagai bangsa tentang seni di UWRF 17.
Dua bulan lalu, 27 oktober 2017, di Indus Restaurant jalan Raya Sangggingan Ubud, untuk pertama kali saya berkenalan dengan penulis asal Brazil berambut coklat Veronica Stigger, editor Guardian Australia berwajah imut Steph Harmon dan penulis Australia bermata sayu Kate Holden. Kami mesti membicarakan kritik sastra dalam diskusi bertajuk “A Critical Eye”. Sebelum diskusi berlangsung, kami menyempatkan minum kopi sembari menyambung benang merah kritik sastra di negara masing-masing.
Singkat cerita, saya mengobrol bahwa di era digital saat ini, posisi pembaca sastra nampaknya tetap tak beranjak sebagai komunitas paling terpinggirkan. Pembaca tetap ditempatkan dalam posisi yang bahkan desisif dalam menentukan sebuah karya sastra sebagaimana pernah disinggung Radhar Panca Dahana dalam esai “Sejarah Sastra Menuju Pembaca”. Padahal, karya sastra oleh pembaca telah diapresiasi begitu intim, tak semata berputar dalam lingkaran analitik ―sudut pandang kritikus, kepentingan penerbit atau sastrawan yang tengah menengok karya sendiri.
Sekadar contoh, di aplikasi berbagi foto dan video sangat memungkinkan nukilan prosa juga puisi ditata bersama foto seorang penulis yang didapat dari bantuan peramban (search engine). Lantas diperkaya audio —suara alam, hewan bahkan dengung mesin industri— dan diakhiri visual tak terduga semisal cuplikan video makanan, arsitektur pun rekaman perjalanan pemilik akun di suatu tempat atau ruang imajinatif yang telah diolah digital.
Di era milineal ini, apresiasi sastra berputar dalam faktualitas perasaan-perasaan manusia. Kita dapat menengoknya dari sebuah layar setelapak tangan.
II
Begitulah, secuil pengalaman saya dalam urutan waktu mengikuti UWRF 17. Sebelum saya sampai pada kalimat terakhir esai ini: UWRF 17 menjadi kenangan mengesankan tentang ikatan hangat pertemanan terutama dengan 16 penulis terpilih. Memang ada kepahitan, janji pengiriman kopi Padang ke Cilacap nampaknya disapu bersih oleh lupa. Esai ini mengandung maksud terselubung memberi kesempatan kedua pelunasan janji suci itu.