Catatan Penulis Emerging 2017 // Dear Ubud oleh Seruni Unie

Posted: 15 January 2018 Author: sikuska

Teks oleh Seruni Unie

Dear Ubud,

Apa kabar ? masih membiru kan langitmu?

Aku Seruni Unie.  Penulis asal Surakarta, yang kau jamu penuh istimewa di Sama’s cottage, Jalan Bisma. 30 menit jalan kaki dari Taman Baca. Tempat acara UWRF terlaksana. Tak jauh dari Indus resto, Neka museum juga Bar luna. Lokasi yang strategis untuk menuju semua. Jadi jarang menggunakan shuttle.

Persiapan menuju Ubud. Satu hal diam-diam kupersiapkan sebelum berangkat, adalah bahagia. Tanpa dipungkiri, mendatangimu adalah kenangan mewah pertama kali. Berada di tubuh pesawat, serta mengecup mesra keindahan pulau dewata secara nyata, tak lagi sebuah fiksi.

Matur nuwun, Ibu. Sebab doamu, aku bisa bertemu penulis dan pembaca dari segala penjuru. Baik Indonesia maupun manca.

Meski terbesit sedikit minder. Karena aku satu-satunya Penulis Emerging dengan profesi buruh. Di antara mahasiswa, pendidik, dan jurnalis.

25 Oktober 2017. Menenteng tas UWRF dengan berkalung tanda pengenal sebagai speaker, merupakan gengsi tak terbantah selama 5 hari.

Ribuan rasa bersujud, tiap kali menyusuri jalan raya Ubud. Melewati jembatan Campuhan sembari sesekali berhenti sebentar. Untuk menghirup sejukmu lebih dalam.

Ehm, mungkin kau tak tahu. Aku ketiban jadi pembicara dua kali. Pertama, 26 Oktober. Saat mbak Debra Yatim jadi moderator. Beliau memintaku langsung untuk bergabung. Dan yang kedua, jadwalku sendiri. Pada sesi Poetic Calling: 27 Oktober 2017

Berikut yang kusampaikan:

“Bagi saya pribadi, terpilih sebagai peserta UWRF adalah kebanggaan  tersendiri. Setidaknya dunia tahu, bahwa ada perempuan kurus dan jelek, yang bisa jadi penyair. Tapi jangan salah, ini tidak mudah. Terkadang saya butuh puluhan kali kirim, untuk bisa tembus ke satu media. Dari honor puisi yang awalnya 27 ribu hingga sekarang yang mencapai di atas 500 ribu. Lebih dari gaji saya yang hanya seorang buruh. Tapi saya tetap harus bekerja. Karena mengandalkan puisi saja, bulshit. Makanya jangan pernah bercita-cita jadi penyair. “

Pada sesi tanya jawab. “Kata adalah doa. Siapapun bisa jadi penyair. Tapi kalau boleh saya sarankan. Jangan pernah menulis sajak patah hati, ketika anda belum pernah mengalami..”

Bahkan setelah kelar itu sesi, sederet episode ‘baper’ terjadi.

Taman baca, pukul 11.00 WITA. “Saya pikir mbak seruni itu, penulis yang maaf ya. Berpakaian sexy dan agak terbuka. Tapi ternyata…. Gila banget. Saya salut Mbak! “ kata wanita muda, yang ngaku asal Medan. Saya lupa siapa namanya.

Indus Resto, pukul 11.30 WITA. “Your talk is good“ ujar seorang pria berkulit putih bermata biru. Saat berpapas.

Mini market – depan Taman Baca, pukul 21.00 WITA. “Kamu dari Solo, ya. Saya juga pernah tinggal di Solo, dulu…“ kata laki-laki setengah baya, yang tak lain ayah Kadek Piscayanti. “Saya tadi ikut acara kamu. Kamu ngga jelek “ imbuhnya. Mata saya seketika merebak. Pelan-pelan basah. Caranya bertutur mengingatkan saya pada almarhum bapak.

28 Oktober. Bar luna riuh. Matahari redup, membersamai acara peluncuran buku sore itu. Diluar dugaan seseorang menunggu. Wanita berparas teduh berkebangsaan Australia. Pena Atanasoff. Dengan kado mungil ditangannya, sebagai hadiah pertemuan. Berupa kamus. Katanya agar  inggris saya bagus. Biar komunikasi kami lancar. (Ups, dia tahu betul inggris saya berantakan)

Serius, disitu saya tertegun haru. Ach, masih banyak ingin kubagi sebetulnya, Ubud. Tapi sudahlah. Yang pasti terimakasih kuhaturkan, atas kencan berharga selama di kamu. Aku tak kan lupa.

Disini tak ada adzan

Tapi ramahmu menawan

Disini tanpa tadarus

Namun senyapmu membius

7200 menit di jantungmu

Tasbihku jumpalitan

Merasakan wuyung sendiri, di Campuhan

Nyeri

Tapi ranum sekali

Tertanda,

Saudaramu

Comments are closed.