SUPPORT NOW
Facebook Twitter Instagram Flickr LinkedIn

Catatan dari Emerging Writers’ Festival 2016

Posted: 03 August 2016 Author: sikuska

IMG_2287

Teks oleh Adimas Immanuel

Efek angin dingin yang menyergap saya tepat setelah keluar dari Tullamarine Airport, Melbourne sungguh nyata: badan menggigil, gigi bergemeletuk, seluruh sendi terasa linu. Penanda temperatur udara di ponsel saya menyebutkan angka 7 derajat. Kota ini memasuki musim dingin. Akhirnya, saya menginjakkan kaki di sebuah negeri yang pertama kali saya ketahui dari sebuah lagu anak-anak bertahun-tahun lalu, ketika saya kecil.

Melbourne adalah salah satu kota tersibuk di Australia. Sendirian di antara lalu lalang banyak orang yang berjalan cepat, berbicara cepat, dan berasal dari latar belakang yang berbeda membuat saya merasa amat kecil. Namun saya segera sadar: saya mendatangi kota ini karena diundang sebagai pembicara untuk sejumlah sesi diskusi dan baca puisi dalam rangka helatan Emerging Writers Festival 2016 yang berlangsung dari 14 – 24 Juni 2016. Sebagai satu-satunya penulis muda Indonesia yang diundang tahun ini, saya mewanti diri saya sendiri untuk tidak boleh mengecewakan. Sejumlah materi diskusi maupun materi baca puisi sungguh-sungguh saya persiapkan, tapi rasa rendah diri dan terbebani tetap saja muncul, apalagi jika membayangkan saya akan bertemu dengan banyak penulis yang besar dan dikenal, tapi bukankah perasaan seperti itu yang akan membuat seseorang terpacu untuk memaksimalkan kemampuannya? Terlebih lagi, saya dipercaya menjadi perwakilan pihak Ubud Writers & Readers Festival yang telah bertahun-tahun menggelar festival literasi di Indonesia untuk mengabarkan perkembangan sastra di Indonesia sekaligus untuk pertukaran budaya antara Indonesia dan Australia.

Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan, akhirnya saya tiba di hotel yang sudah disediakan panitia di daerah Swanston St. Setibanya di tempat ini, saya membongkar pakaian, barang-barang bawaan, menyisihkan sejumlah catatan, dan memeriksa ulang jadwal acara dan berbagai rangkaian kegiatan saya di Melbourne dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel. Keramahan orang-orang yang saya temui, energi orang-orang kota ini, tata rancang kota yang rapi dan arsitektur yang modern membuat saya kian antusias untuk menjalani sesi demi sesi diskusi. Setelah lelah berkeliling, saya memutuskan untuk beristirahat lebih cepat agar siap menghadapi sesi pertama esok hari.

Emerging Writers Festival (EWF) 2016 adalah agenda literasi tahunan yang berpusat di Melbourne, Australia yang bertujuan mempertemukan para penulis, praktisi penerbitan, pembaca, dan kreator seni lain untuk bertukar gagasan melalui sejumlah sesi diskusi panel. Tahun ini, State Library of Victoria menjadi titik pusat helatan acara, meski banyak acara lain mengambil tempat di café maupun restoran yang tersebar di pelosok kota Melbourne.

Di hari pertama diskusi, Direktur EWF 2016, Michaela McGuire, menyambut saya dengan ramah dan mengungkapkan bahwa festival tahun ini cukup menyita konsentrasinya dan tim karena harus memikirkan dan mempersiapkan banyak hal, koordinasi dengan banyak pihak untuk mengundang banyak penulis, merancang berbagai program agar menjadi menarik, hingga pada akhirnya semua susunan acara siap dikemas dan ditampilkan sebagai satu keutuhan festival.

Pada festival tahun ini, saya mendapat satu sesi diskusi panel, yakni Poetic Practice dan satu sesi baca puisi, Songs & Stories of Home. Di sesi diskusi panel, bersama Omar Sakr, Alison Whittaker dan Zoe Dzunko, kami membicarakan berbagai hal mengenai puisi mulai dari asal mula kami menggeluti puisi hingga menjadi praktik sehari-hari, lalu membicarakan kaitannya dengan berbagai macam topik, mulai dari isu kota, kampung halaman, etnik, gender, hingga politik. Lalu di sesi baca puisi Songs & Stories of Home, saya membawakan puisi yang menceritakan imaji saya tentang rumah dan ingatan masa kecil. Sesi ini sangat ramai dan menarik karena selain penulis dan penyair, banyak musisi Australia turut memeriahkan acara dengan menyumbang satu dua lagu dengan membawa kekhasan warna musik masing-masing.

Mungkin ada yang bertanya, apakah saya melewati hari-hari saya di Melbourne hanya dengan sesi diskusi sastra dan penulisan saja? Tentu tidak, panitia sangat menyadari ini dan saya berterima kasih karena secara khusus membuatkan saya program agar bisa berkeliling dan melihat Australia lebih jauh. Ya, saya berkesempatan dijamu Mark Smith, penulis Australia yang tinggal di Anglesea, sebuah kota pinggir pantai sekitar dua jam perjalanan dari Melbourne. Mark Smith adalah penulis novel dan cerpenis yang sehari-hari bekerja sebagai guru dan praktisi selancar. Sebuah kombinasi keseharian yang keren dan seimbang, pikir saya. Dengan setengah bercanda saya bilang sebagus apapun saya menulis, saya tidak akan bisa menyamai capaian Mark karena saya tidak bisa berenang, apalagi berselancar!

Selama dua hari, saya diajak menyusuri Great Ocean Road, sebuah jalanan pinggir pantai sepanjang ratusan kilometer yang membelah perbukitan dan berbatasan langsung dengan Bass Strait. Tempat ini sangat indah karena selain menawarkan lanskap laut biru dengan sudut pandang yang begitu luas, berbagai macam pepohonan, tumbuhan semak dan hewan asli Australia berumah di sini. Bisa ditebak, seperti kebanyakan orang yang pertama kali mengunjungi Australia, saya sangat girang ketika bisa menyaksikan kanguru dan koala dari dekat. (sesungguhnya hubungan saya dengan kanguru tak sedekat itu karena ternyata mereka binatang liar dan jauh dari bayangan saya mengenai betapa lucunya mereka di film-film kartun, jadi harus tetap menjaga jarak).

Menurut Mark, jalanan ini telah menginspirasi banyak penulis Australia untuk memindahkan keindahan alamnya ke dalam cerita mereka, seperti Jock Serong yang menggunakan latar Port Fairy untuk novelnya Quota, Gregory Day dengan Aireys Inlet hingga Peter Temple untuk A Broken Shore. Great Ocean Road rupanya juga menjadi tempat yang dipilih Mark untuk mengisahkan novel barunya yang terbit bulan ini, The Road To Winter. Saya cukup beruntung karena mendapat bukunya sebelum beredar di toko buku. Tak lupa di malam hari saya berdiskusi dengan klub baca Torquay di mana mereka datang dari latar belakang yang berbeda, mulai dari cerpenis, novelis, penyair, editor, praktisi periklanan, hingga ahli mikrobiologi. Kesemuanya berkumpul berbagi cerita dan upaya menulis masing-masing. Betapa menyenangkan!

Meski telah mengunjungi berbagai tempat seperti Anglesea, Australian Centre for Moving Image (saya menemukan banyak arsip sinema dan tentunya replika mobil Mad Max!), Federation Square dengan kemeriahannya, Yarra River dengan keindahan lampu kota di malam hari, Brunswick Street dengan deretan café, kehidupan multikultur dan menyaksikan semangat kreatif anak mudanya, saya tetap merasa belum melihat banyak hal. Di ruang tunggu bandara sesaat sebelum pulang, saya mengingat banyak hal baik yang telah diberikan kota ini di kunjungan saya yang singkat. Kota yang menjadi contoh kehidupan multikultur yang kaya warna dan saling mengisi. Saya menyimpan dengan baik memori saya tentang orang-orang, percakapan, makanan, tata kota, ragam aktivitas seni dan budaya dan kehidupan sosial, di mana semuanya berjalinan mendenyutkan semangat kreativitas. Ini akan menjadi bekal pengalaman dan motivasi baru bagi saya setibanya pulang ke Indonesia. Tepat ketika pengeras suara sentral bandara membuat panggilan untuk memasuki pesawat yang akan mengatar saya pulang, saya seketika rindu dengan kemacetan, udara panas, suara mesin kendaraan, hiruk-pikuk orang-orang yang bercakap dan bersendagurau menggunakan bahasa ibu saya, dan tentu saja, warteg.

Comments are closed.